Para anggota koperasi kebanyakan UMKM dan memang 30 persen-50 persen mengalami penurunan penjualan, hingga kesulitan membayarkan cicilan modal kepada lembaga pembiayaan
Pandemi COVID-19 yang merebak di seantero dunia lebih satu semester, telah merusak seluruh tatanan kehidupan mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya. Tidak satu pun negara yang ekonominya kebal terhadap pandemi ini.
Di Indonesia, salah satu sektor yang paling cepat terpukul adalah kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM RI setidaknya terdapat 37.000 pelaku UMKM telah terpapar dampak corona.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 69 persen UMKM diperkirakan mengalami penurunan omset penjualan, 9 persen mengalami kesulitan distribusi barang produksi, 13 persen mengalami kesulitan dalam akses terhadap modal usaha, dan sekitar 4 persen UMKM mengalami penurunan produksinya secara drastis hingga tidak melanjutkan produksi untuk sementara.
Padahal sektor UMKM merupakan salah satu tulang punggung penggerak utama perkonomian nasional. Bahkan di saat krisis ekonomi 1998 sektor ini menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.
Baca juga: Ridwan Kamil ajak UMKM kolaborasi desain produk
Ketika itu, di saat perusahaan skala besar dan konglomerasi bertumbangan, UMKM tetap tangguh di tengah krisis politik yang kemudian merembet ke perekonomian dan tidak hanya di Indonesia te tapi juga negara-negara Asia terutama Asia Tenggara.
Saat ini, UMKM kembali menjadi sorotan. Pasalnya, berdasarkan data pada tahun 2019 sektor UMKM memberikan kontribusi 60,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, atau atau Rp694 triliun.
Sektor yang memiliki jumlah 64,2 juta unit usaha UMKM ini juga mampu menyerap sekitar 116 juta tenaga kerja atau sekitar 97,02 persen dari total angkatan kerja nasional. Berbanding terbalik dengan usaha besar yang hanya menyerap sekitar 5,8 juta tenaga kerja.
Dalam satu dekade terakhir seiring dengan berkembangnya teknologi, UMKM terus berkembang. Usaha mulai dari skala rumahan hingga skala yang lebih besar bermunculan.
Mengutip data Kementerian UKM dan Koperasi, kelompok UMKM yaitu usaha mikro dengan kriteria aset (tidak termasuk tanah dan bangunan) maksimal Rp50 juta , usaha kecil dengan aset di atas Rp50 juta-Rp500 juta, usaha menengah dengan aset di atas Rp500 juta-Rp10 miliar, usaha besar aset lebih dari Rp10 miliar.
Dari sisi jenis usaha sangat beragam mulai dari kuliner, fashion, agribisnis, usaha bidang teknologi, jasa marketing, otomotif, perawatan tubuh, hingga usaha kerajinan dan cindera mata.
Kini sektor yang “perkasa” pada tahun 1998 tersebut, mengalami tekanan seiring pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah kota-kota besar Indonesia. Kebijakan PSBB yang mengharuskan physical distancing atau penjarakan fisik ini memaksa pusat-pusat ekonomi dan aktivitas bisnis terhenti. Meskipun PSBB tidak berlangsung lama namun dampaknya cukup besar terhadap UMKM.
Bahkan, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi September 2020 separuh dari pelaku UMKM di Indonesia akan gulung tikar akibat pandemi tersebut.
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki mengaku khawatir dengan prediksi OECD tersebut. Namun, ia tidak langsung percaya begitu saja terhadap ramalan itu. Prediksi itu justru harus dijadikan sebagai cambuk untuk mengantisipasi dampak terburuk dari COVID-19 yang harus dihadapi UMKM.
“Kami terus memantau perkembangan UMKM di Indonesia. Para anggota koperasi kebanyakan UMKM dan memang 30 persen-50 persen mengalami penurunan penjualan, hingga kesulitan membayarkan cicilan modal kepada lembaga pembiayaan,” ujar Teten.
Baca juga: Teten: Pemerintah komitmen dukung kegiatan UMKM agar tidak berhenti
Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia Budi Hanoto mengatakan, kelompok usaha kecil eksportir merupakan subsektor yang paling terpukul yang mencapai 95,4 persen, kelompok UMKM kerajinan serta pendukung pariwasata 89,9 persen, sedangkan sektor usaha pertanian terpukul yang mencapai 41,5 persen.
PEN
Dalam situasi pandemi berkepanjangan yang berpotensi memaksa ekonomi Indonesia masuk ke zona resesi, UMKM menjadi sektor penting yang diharapkan kembali menjadi penopang ekonomi.
Menurut literatur, resesi ekonomi terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Sementara, disebut krisis ekonomi ketika terjadi penurunan kondisi ekonomi drastis yang dipicu memburuknya fundamental ekonomi, laju inflasi tinggi dan pertumbuhan negatif berkepanjangan.
Hampir seluruh kalangan sepakat bahwa Indonesia segera masuk dalam zona resesi, namun tidak akan mengalami krisis karena semua faktor-faktor ekonomi masih berjalan meskipun agak tersendat karena dampak pandemi.
Untuk mengurangi dampak pandemi COVID-19 terhadap perkonomian, pemerintah langsung membuat kebijakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai respon atas penurunan aktivitas masyarakat terutama sektor informal atau UMKM.
Pemerintah pun menganggarkan dana PEN sebesar Rp695,2 trilliun. Sebesar Rp87,55 triliun di antaranya untuk anggaran kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, sektor UMKM sebesar Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan dukungan sektoral kementerian/lembaga dan Pemda sebesar Rp106,11 triliun.
UMKM menjadi sektor kedua tertinggi mendapat alokasi anggaran PEN setelah bantuan perlindungan sosial. Sesuai dengan skalanya yang banyak menyerap tenaga kerja, UMKM sepertinya wajib diselamatkan karena jika tidak akan sangat mengganggu ekonomi secara nasional.
Dalam program PEN, pelaku UMKM diberikan subsidi bunga pinjaman, insentif pajak UMKM, penjaminan kredit modal kerja serta penempatan dana di perbankan untuk UMKM.
Penjaminan kredit bertujuan menjembatani akses UMKM ke sistem perbankan atau lembaga keuangan formal, khususnya bagi UMKM yang belum bankable.
Pemerintah melalui perbankan dan lembaga penjaminan bergerak cepat. Hingga pertengahan September 2020, realisasi PEN untuk UMKM telah mencapai 91,4 persen dari alokasi Rp123,46 triliiun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan alokasi sebesar Rp123,46 triliun diharapkan dapat benar-benar dimanfaatkan UMKM sehingga mampu bangkit kembali dari tekanan ekonomi.
“Pemerintah mendukung seluruh aspek untuk dunia usaha terutama UMKM. Diberikan bantuan, dan dilindungi oleh pemerintah. Ini maksudnya supaya UMKM bisa bangkit kembali," katanya
Tak hanya itu, Sri Mulyani bahkan menyebutkan program kredit modal kerja untuk UMKM ini bisa diperpanjang sampai 2021 juga diharapkan manfaatnya dapat bergulir hingga tahun depan.
Tidak cukup dengan subsidi bunga pinjaman dan penjaminan, Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah juga meluncurkan Banpres Usaha Mikro (BPUM) sebagai skema insentif tambahan bagi pelaku usaha mikro kecil agar dapat bertahan di tengah pandemi COVID-19.
Insentif ini merupakan tambahan modal kerja bagi usaha mikro dan kecil senilai Rp2,4 juta yang diberikan untuk 12 juta usaha kecil dan mikro yang ditransferkan secara langsung ke rekening para penerima.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyampaikan program ini sudah mulai disalurkan sejak 17 Agustus 2020. Target penyaluran tahap pertama untuk 9,1 juta penerima manfaat, dengan total anggaran Rp22 triliun.
Baca juga: Menkop sebut Banpres Produktif dorong UMKM terkoneksi akses pembiayaan
Digitalisasi UMKM
Pandemi COVID-19 telah mengubah pola hidup masyarakat. Mengubah mobilitas penduduk yang mengakibatkan perubahan pada pendapatan dan pola Konsums masyarakat.
Akibatnya, tidak semua UMKM langsung dapat menyesuaikan bisnisnya. Beberapa di antaranya terpaksa gulung tikar karena terlambat beradaptasi dengan dunia digital yang menjadi basis transaksi bisnis saat ini.
Di sejumlah daerah, bahkan sebagian besar pelaku UMKM masih belum tersambung dengan dengan akses ponsel pintar, belum memiliki komputer untuk memasarkan produk yang dihasilkan.
Kondisi ini menjadi salah satu kendala yang harus dihadapi UMKM, mulai dari ketidakmampuan dalam mengadopsi teknologi, keterbatasan dalam akses untuk pengadaan komputer, juga terkait dengan kondisi geografis yang tidak memungkinkan UMKM untuk meningkatkan atau menjadikan digital sebagai basis produksi dan pemasaran.
Ada sisi buruk UMKM tidak bisa beradaptasi. Namun di sisi lain, di masa pandemi ini justru banyak muncul usaha-usaha kategori mikro kecil yang mampu mencari celah pasar. Kreativitas yang didukung digitalisasi menjadi kunci utama mampu bersaing terutama dengan UMKM eksisting.
Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi mengatakan digitalisasi UMKM merupakan sebuah keniscayaan dan pemerintah telah menetapkan target digitalisasi sebanyak 10 juta UMKM pada 2020.
Perubahan tren dan perilaku konsumen dengan membatasi interaksi fisik dan mengurangi aktivitas di luar rumah, terbukti dapat memberi peluang lebih besar kepada UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital untuk bertahan atau bahkan melaju di tengah pandemi COVID-19.
“Sayangnya, peluang tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM, karena dari sekitar 64 juta populasi UMKM di Indonesia, baru 13 persen yang terhubung ke ekosistem digital. Perlu keterlibatan pemerintah dan berbagai pihak untuk meningkatkan literasi manfaat UMKM masuk ke ekosistem digital dan inkubasi untuk mengakselerasi kesiapan mereka,” kata Zabadi.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), ditargetkan pada akhir tahun 2020 sebanyak 9,4 juta UMKM sudah “go online” dan mendapatkan manfaat penggunaan teknologi digital untuk transaksi lintas batas.
Pakar Digital Marketing Adreas Agung Bawono mengatakan perilaku konsumen yang serba online melalui berbagai fasilitas media sosial dalam memenuhi kebutuhan hariannya perlu cepat diadaptasi oleh pelaku UMKM dengan melakukan digitalisasi bisnis.
“Ketika butuh suatu barang, kini setiap orang cukup membuka smartphone, lalu browsing di internet. Ketika produk dan layanan UMKM tak tersedia pada fasilitas media sosial tersebut, maka sudah pasti akan tertinggal,” katanya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan penggunaan teknologi digital para pelaku UMKM akan memiliki kesempatan yang sama dengan pelaku usaha besar untuk menjual produk mereka.
“UMKM akan berada di dalam satu platform yang sama misalnya melalui e-commerce marketplace sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan promosi dan penjualan produk," kata Ira.
Untuk mengantisipasi dampak buruk pandemi ini, Pemerintah telah mengeluarkan jurus melalui program PEN untuk menyelamatkan dan membuat bangkit UMKM agar mampu menjadi penopang perekonomian nasional.
Banyak yang beranggapan bahwa krisis ekonomi akibat dampak COVID-19 berbeda dengan krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1998, di mana UMKM menjadi “pahlawan”.
Kini saatnya, dengan berbagai stimulus ekonomi dan digitalisasi UMKM , diharapkan sektor ini tetap dapat menjadi penopang atau menjadi bantalan dalam menggerakkan ekonomi nasional, agar mampu melewati masa resesi dan terhindar dari kemungkinan krisis berkepanjangan.
Baca juga: Bahlil: Kalau fokus kelola UMKM, ekonomi tumbuh 4 persen mudah dicapai
Baca juga: Menkop Teten sebut penguatan ekonomi domestik percepat pemulihan
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020