Kasus di Inggris naik, atas apa yang dianggap Perdana Menteri Boris Johnson sebagai gelombang kedua COVID-19, dengan wilayah yang lebih luas di negara tersebut mematuhi pembatasan sosial dan London diharapkan melakukan hal serupa.
"Trend di Inggris menuju arah yang salah dan kami sedang dalam titik kritis pandemi," kata Kepala Petugas Media Inggris Chris Whitty.
"Kami sedang memeriksa data untuk melihat bagaimana mengatasi penyebaran virus corona menjelang musim dingin yang sangat menantang."
Lebih dari 40.000 orang di Inggris meninggal dalam 28 hari setelah terbukti positif COVID-19 sejak pandemi melanda pada Maret, jumlah tertinggi di Eropa.
Kasus baru langsung menurun berkat penguncian selama tiga bulan, namun kemudian meningkat ketika ekonomi, sekolah dan kantor yang sebelumnya ditutup kembali dibuka. Pemerintah menuai banyak kritikan lantaran minimnya kapasitas tes COVID-19.
Peringatan Whitty diperkirakan menjadi isyarat pidato nasional oleh PM Johnson pekan depan, meski hal ini belum mendapat konfirmasi dari para menteri.
Menteri Kesehatan Matt Hancock pada Minggu memperingatkan bahwa Inggris dalam kondisi kritis, mengatakan bahwa masyarakat harus mematuhi aturan isolasi mandiri atau menghadapi penguncian lanjutan. Pemerintah juga mengumumkan denda yang lebih besar bagi pelanggar aturan COVID-19.
Hancock tidak mengesampingkan penguncian nasional lanjutan, tindakan yang menurut Johson bakal menimbulkan bencana bagi ekonomi. Hancock juga mengatakan bahwa para pejabat sedang rapat bersama untuk memutuskan cara terbaik mengatasi lonjakan kasus di London.
Sumber: Reuters
Baca juga: PM Boris: Inggris akan hadapi gelombang kedua COVID-19
Baca juga: Peneliti Inggris rancang alat prediksi risiko kematian pasien COVID-19
Baca juga: Karantina "membingungkan" di Inggris karena aturan berbeda-beda
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020