SPET ini nanti harapannya bisa mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada...
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Jannata Giwangkara menilai Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET) dalam instrumen RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat mendongkrak mekanisme pasar.
Jannata Giwangkara dalam diskusi virtual di Jakarta, dikutip Antara, Kamis, menyebutkan bahwa instrumen tersebut bisa menciptakan dan mengakselerasi jumlah permintaan energi terbarukan yang selama beberapa tahun terakhir stagnan, bahkan menurun.
“SPET ini nanti harapannya bisa mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada. Misal, perusahaan batu bara, saat ini sudah mengembangkan lini bisnis ke arah energi terbarukan. Ini karena mereka sadar energi terbarukan akan menjadi bisnis baru yang menguntungkan di masa depan. Sementara Sertifikat Energi Terbarukan untuk mekanisme jual beli produksi energi terbarukan,” kata Jannata.
Baca juga: Kadin usulkan insentif "tax holiday" 10 tahun, gairahkan investasi EBT
Pembahasan RUU EBT yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020, kat dia, harus tidak kalah progresif dengan pembahasan dan penyelesaian RUU Cipta Kerja, dan seharusnya hanya fokus untuk energi terbarukan saja. Apalagi proses penyusunan RUU ini sudah dimulai sejak Januari 2017 saat Komisi II DPD RI mengadakan RDPU dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Jannata menyatakan dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara di antaranya sudah memiliki UU khusus untuk energi terbarukan, bahkan sudah ada sejak tahun 2000.
Untuk Indonesia, pemerintah memang sudah lebih dahulu menerbitkan UU Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, daripada mengatur energi terbarukan secara umum. “Sudah menjadi semakin urgen memiliki UU tersendiri untuk energi terbarukan dalam era transisi energi dan dekarbonisasi ini,” katanya.
Baca juga: Pemerintah permudah investor kembangkan energi panas bumi
Jannata menekankan Indonesia juga memiliki target bauran energi. Terpenuhinya target bauran energi terbarukan di energi primer sebesar 23 persen pada 2025 sangat penting bagi pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris.
“Di sisi lain, terlepas dari sukses atau tidaknya RUU ini untuk fokus di energi terbarukan saja, porsi energi berbasis fosil harus bisa ditekan agar bauran energi terbarukan bisa lebih meningkat," katanya.
Menurut Jannata, tahun 2020 dapat menjadi momentum penentu dan titik balik bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di Tanah Air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional.
Baca juga: KOICA-Kementerian ESDM tingkatkan akses listrik surya daerah terpencil
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020