• Beranda
  • Berita
  • Pemerintah lakukan upaya agar PLTU lebih ramah lingkungan

Pemerintah lakukan upaya agar PLTU lebih ramah lingkungan

25 September 2020 21:09 WIB
Pemerintah lakukan upaya agar PLTU lebih ramah lingkungan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9&10. (ANTARA/Istimewa).

Dengan teknologi HELE ini maka dipastikan akan memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan oleh KLHK.

Pemerintah melakukan berbagai upaya agar keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di berbagai daerah menjadi lebih ramah lingkungan dan tidak mengganggu kehadiran masyarakat sekitar.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RM Karliansyah dalam pernyataan di Jakarta, Jumat, mengatakan, kehadiran PLTU ramah lingkungan itu dijamin melalui Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No 15 tahun 2019.

"Peraturan yang ada di dalam Permen No 15 tahun 2019 ini menerapkan baku mutu yang jauh lebih ketat dari baku mutu sebelumnya," kata Karliansyah.

Melalui regulasi ini, menurut dia, pemerintah tidak membiarkan adanya kegiatan usaha yang mencemari lingkungan sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya PLTU, yang selama ini dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan alam.

Selain itu, pembinaan juga akan dilakukan terus menerus sehingga pengusahaan pembangkit lebih taat dengan integrasi pemantauan dengan CEMS (Continous Emission Monitoring System) ke KLHK melalui SISPEK (Sistem Informasi Pemantauan Emisi Kontinu Perusahaan) sebagai bentuk perusahaan akan terawasi secara langsung.

Ia menambahkan penyusunan peraturan ini juga sudah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti instansi pembina (Kementerian ESDM), perusahaan, asosiasi, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. Baku mutu yang berlaku dalam peraturan ini jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan baku mutu yang berlaku di lingkup regional Asia dan mengadopsi peraturan internasional.

Saat ini, banyak pembangkit telah menggunakan alat pengendali emisi yaitu partikulat dengan Electrostatic Precipitator (ESP) atau Bag House Filter, Nitrogen Oxida (NOx) menggunakan Low NOx Burner dan Sulfur Dioksida (SO2) dengan Flue Gas Desulfurization (FGD).

Selain itu, pemerintah juga memantau setiap pembangkit dengan pembangkit yang memiliki kapasitas > 25 MW atau < 25 MW dengan kadar Sulfur di atas dua persen wajib menggunakan peralatan CEMS. Sedangkan PLTMG yang memiliki kapasitas > 15 MW wajib memasang CEMS.
Baca juga: Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 dinilai bakal atasi pengangguran

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan pencemaran lingkungan akibat pembangunan PLTU seharusnya tidak terjadi karena pemberian izin pengelolaan harus memenuhi syarat ramah lingkungan.

Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menyatakan PLTU harus ramah lingkungan dan efisien dengan menerapkan teknologi rendah karbon dan tingkat efisiensi tinggi atau High Efficiency and Low Emmission (HELE) sehingga tercapai biaya pokok penyediaan atau BPP yang murah.

"Dengan teknologi HELE ini maka dipastikan akan memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan oleh KLHK," katanya.

Ia juga menjelaskan, keberadaan PLTU berbahan bakar batubara yang efisien mampu menekan biaya pokok penyediaan listrik sehingga dapat menciptakan ketersediaan harga jual listrik PLN kepada pelanggan yang lebih murah.
Baca juga: Pengamat : Insentif tarif listrik baiknya diikuti penurunan harga BBM

Sementara itu, Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang mengatakan banyak PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi canggih sama seperti di negara-negara maju.

Pembangkit tersebut rata-rata sudah menggunakan teknologi ultra supercritical boiler (USC) yang dapat menghasilkan pembakaran batu bara yang sempurna dengan emisi jauh lebih rendah sehingga lebih ramah lingkungan.

USC juga membuat efisiensi pemakaian batu bara di atas 45 persen, misalnya, satu kilogram batu bara biasanya menghasilkan listrik 2 kWh untuk nilai kalor 5.000, dengan USC, satu kilogram itu bisa untuk 2,1 kWh.

"USC ini jauh lebih efisien penggunaan batubaranya untuk menghasilkan output yang sama. Penggunaan konsumsi batubaranya jauh lebih sedikit. Sehingga itu jauh lebih efisien dan ramah lingkungan," katanya.

Ia menambahkan perancangan PLTU dan pembangkit lainnya sudah melalui proses uji dan kaji oleh berbagai pihak dengan proses rancang terlebih dulu melalui KLHK untuk aspek lingkungannya. Selain itu, persetujuan dari KLHK bukan di pertengahan jalan, melainkan dari awal.

Baca juga: Terdampak COVID, pengusaha ingin harga energi dikaji ulang
 

Pewarta: Satyagraha
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020