• Beranda
  • Berita
  • RUU Energi Baru Terbarukan perlu fokus kepada harga sebagai insentif

RUU Energi Baru Terbarukan perlu fokus kepada harga sebagai insentif

27 September 2020 09:19 WIB
RUU Energi Baru Terbarukan perlu fokus kepada harga sebagai insentif
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. ANTARA/HO-Humas Fraksi PKS

Pemerintah perlu memaksa PLN untuk membeli listrik EBT tanpa kompensasi yang memadai juga akan membuat BUMN yang utangnya segunung ini bisa kolaps

RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dinilai perlu fokus kepada tingkat harga agar ke depannya dapat menjadi faktor insentif dan disinsentif di dalam pembangunan sumber EBT dalam bauran energi listrik nasional di berbagai daerah.

"Kalau harga listrik EBT masih mahal, tidak bersaing dengan sumber energi fosil, tentu akan berat untuk mendorong peran serta masyarakat ikut berkontribusi di sisi penyediaan listrik EBT ini, karena masyarakat pengguna listrik kita masih lebih tertarik pada energi yang murah dan terjangkau," kata Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Mulyanto melihat isu harga energi alternarif ini menjadi isu sentral dalam pengembangan listrik bersumber dari EBT, apalagi ketika harga batubara dan BBM tengah merosot tajam.

Sementara itu, ujar dia, Pemerintah perlu memaksa PLN untuk membeli listrik EBT tanpa kompensasi yang memadai juga akan membuat BUMN yang utangnya segunung ini bisa kolaps.

Sebelumnya dikabarkan Pemerintah berencana membuat Peraturan Presiden tentang Pembelian Tenaga Listrik EBT oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perpres dibuat dengan tujuan agar harga listrik EBT ini lebih kompetitif. "Namun sampai hari ini Perpres belum terbit juga.

Untuk diketahui RUU EBT yang tengah digodok DPR RI bersama Pemerintah bertujuan menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional.

DPR dan Pemerintah mendorong EBT ini secara bertahap dapat menjadi sumber energi utama masyarakat, sehingga keberadaan EBT menjadi modal pembangunan berkelanjutan yang mendukung perekonomian nasional.

"Sekarang ini RUU EBT masih dalam tahap pengayaan substansial. Masih dalam tahap awal sekali," ujarnya

Mulyanto menegaskan, Komisi VII berencana melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak terkait, baik masyarakat profesi, industri, dan perguruan tinggi, agar pembahasannya lebih komprehensif.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemanfaatan jaringan listrik pintar atau smart grid menjadi salah satu opsi memenuhi target energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025.

Pemanfaatan smart grid juga merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

"Pemanfaatan smart grid dapat meningkatkan penetrasi pada pembangkit EBT terutama variabel renewable energy (VRE) di sistem ketenagalistrikan," ungkap Menteri ESDM saat membuka konferensi internasional yang diselenggarakan PT PLN (Persero) secara virtual di Jakarta, Rabu (23/9).

Menurut Arifin, pengembangan smart grid dapat meningkatkan efisiensi, kualitas, dan keandalan sistem ketenagalistrikan. Hal itu akan mengurangi bahkan mencegah pemadaman listrik, sehingga bisa menghasilkan aksesibilitas yang lebih baik ke jaringan dan mempercepat proses pemulihan gangguan.

Selain itu, lanjutnya, dengan jaringan listrik pintar juga dinilai dapat mengurangi tingkat susut pada jaringan distribusi serta dapat digunakan sebagai langkah dalam pengembangan pembangkit terdistribusi.

"Manfaat lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan integrasi energi terbarukan dalam skala yang besar dan mampu menurunkan tarif listrik dengan mengendalikan beban puncak listrik," ujarnya.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil tolak tenaga nuklir masuk dalam RUU EBT
Baca juga: IESR: Sertifikat Energi Terbarukan bakal dongkrak mekanisme pasar

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020