RUEN yang ditetapkan di tahun 2017, menggunakan data riil tahun 2000 hingga tahun 2015 sebagai input dan memproyeksikan data dari tahun 2016-2050.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan agar Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 dapat ditinjau kembali atau diperbarui dalam beberapa konteks untuk mempercepat proses transisi energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, dalam informasi tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu menjelaskan dalam kondisi kebijakan saat ini RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi, walaupun telah mengadopsi target energi terbarukan 23 persen dari bauran energi total pada 2025.
Target ini berkorelasi dengan jumlah kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sebesar 45,2 GW pada 2025 dari total 136 GW kapasitas pembangkit listrik.
Studi dari IESR memodelkan ulang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 melalui tiga skenario tambahan (skenario realisasi, program strategis, dan transisi energi) untuk mengevaluasi dan memproyeksikan capaian dari target RUEN awal berdasarkan ketiga skenario yang dibangun.
Transisi energi menuju sistem energi terbarukan telah menjadi fenomena global sebagai respon untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dan mengurangi risiko stranded asset.
Merujuk kepada salah satu temuan dari laporan ini, target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir.
Dengan kondisi dan parameter ekonomi dan energi yang telah mengalami perubahan sejak RUEN 2017 disusun lima tahun lalu, IESR menyerukan untuk diadakannya peninjauan dan pemutakhiran kembali RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi energi global, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi yang saat ini sedang terjadi.
Keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang terus semakin murah setiap tahunnya, dapat mengakselerasi upaya transisi energi. Bahkan, harga listrik yang dibangkitkan dari energi surya dan angin skala besar sudah mampu bersaing dengan harga pembangkitan listrik dari batu bara.
Adanya revolusi digital di sektor energi, tumbuhnya kekuatan konsumen untuk menggunakan listrik dari energi bersih, bangkitnya kendaraan hibrida dan listrik, serta desentralisasi pembangkitan energi menjadi faktor pendorong lainnya dalam upaya dekarbonisasi sektor ini.
Merujuk kepada RUEN, di tahun 2025 energi terbarukan diproyeksikan meningkat dari 7 persen menjadi 23 persen, batubara dari 26 persen menjadi 30 persen, dan bahan bakar minyak turun dari 46 persen menjadi 25 persen, dan gas relatif turun menjadi 22 persen dari sebelumnya 23 persen dalam bauran energi primer nasional.
Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan di tahun 2025 mencapai 45,2 GW dengan komposisi 20,9 GW dari air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu.
Penulis laporan IESR, Agus Praditya Tampubolon, menyebutkan bahwa target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir.
Hal ini disebabkan realisasi dari laju pertumbuhan konsumsi energi tahunan dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sebagai akibat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode 2015-2019.
“RUEN yang ditetapkan di tahun 2017, menggunakan data riil tahun 2000 hingga tahun 2015 sebagai input dan memproyeksikan data dari tahun 2016-2050. Beberapa data proyeksi ini overestimated, terutama pada pertumbuhan ekonomi dan industri serta demografi penduduknya. Hal ini menyebabkan proyeksi RUEN menjadi tidak proporsional, misalnya pada konsumsi energi primer dan listrik, termasuk pada kapasitas pembangkit. Sehingga skenario realisasi menunjukkan bahwa energi terbarukan hanya diindikasikan mencapai 22,62 GW di tahun 2025,” katanya.
Agus juga menambahkan bahwa jaringan gas kota, kendaraan listrik dan biodiesel yang dicanangkan pemerintah hanya berkontribusi terhadap bauran energi primer sekitar 3 persen (menjadi 17,9 persen) dari baseline baru dalam skenario realisasi sebesar 15 persen di tahun 2025.
Baca juga: IESR: Ancaman krisis iklim semakin riil karenanya butuh aksi ekstrem
Baca juga: IESR: Sertifikat Energi Terbarukan bakal dongkrak mekanisme pasar
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020