Berharap jurang resesi tak terlalu dalam

1 Oktober 2020 20:54 WIB
Berharap jurang resesi tak terlalu dalam
Ilustrasi: Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang menjadi indikator geliat ekonomi, terutama ekspor-impor Indonesia (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Kita sudah resesi, bahkan perlambatannya sudah mulai terjadi di kuartal I

Wabah virus corona yang belum ada kepastian kapan berakhir, bukan saja telah menyebabkan lebih sejuta kematian di seluruh dunia, tetapi juga mengakibatkan ekonomi semakin porak-poranda.

Semakin banyak negara terjerembab ke jurang resesi. Sejumlah negara pun telah menyatakan resesi sejak beberapa bulan lalu.

Perekonomian Indonesia juga terkena dampak dan para pengamat ekonomi sudah memberi sinyal ke arah resesi sejak awal wabah ini. Sinyal resesi itu terlihat sejak virus yang bermula Wuhan (China) tersebut menyebar ke seluruh dunia dan menjadi pandemi global.

Sinyal kuat mengenai ekonomi Indonesia yang memasuki resesi terlihat dari kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang turun sejak wabah ini.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun telah merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2020 dari semula minus 1,1 persen hingga 0,2 persen menjadi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

"Kementerian Keuangan melakukan revisi forecast pada September ini yang sebelumnya kita memperkirakan untuk tahun ini minus 1,1 hingga positif 0,2 kemudian forecast terbaru kita adalah kisaran minus 1,7 hingga minus 0,6 persen,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (22/9).

Revisi itu menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada kwartal III berada dalam teritori negatif. Sedangkan kwartal IV mendekati nol persen.

Pemerintah mengupayakan kuartal IV agar bisa mendekati nol persen atau ke arah positif.

Sudah resesi
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, sebenarnya tanda-tanda terjadinya resesi pada perekonomian Indonesia untuk tahun ini mulai terlihat sejak kwartal I-2020.

“Kita sudah resesi, bahkan perlambatannya sudah mulai terjadi di kuartal I," katanya dalam diskusi daring.

Baca juga: Kemenkeu: Deflasi tiga bulan beruntun sinyal ekonomi belum pulih

Tanda-tanda resesi sudah mulai bukan di kwartal II tapi kwartal I pun sebenarnya sudah signifikan sekali pertumbuhan ekonominya terkoreksi.

Tanda-tanda terjadinya perekonomian Indonesia mengalami resesi pada tahun ini dilihat dari realisasi pertumbuhan pada kwartal I yang tergolong rendah. Yaitu 2,97 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 5,07 persen (yoy).
 
Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

Realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tersebut juga mengalami kontraksi sebesar 2,41 persen dibandingkan kwartal IV tahun sebelumnya yang tercatat 4,97 persen (yoy).

Selanjutnya, pelemahan ekonomi terjadi semakin dalam pada realisasi kuartal II. Yakni terkontraksi mencapai 5,32 persen (yoy) dan minus 4,19 persen jika dibandingkan dengan kuartal I 2020.

Untuk pertumbuhan ekonomi pada kwartal III diperkirakan masih akan menyentuh zona negatif. Yakni antara minus 2,9 persen sampai minus satu persen.

Meskipun pertumbuhan ekonomi kwartal III diproyeksikan berada dalam zona negatif, namun masih akan lebih baik dibandingkan dengan realisasi kuartal sebelumnya.

Kalau dilihat data kuartal I sudah melambat di bawah lima persen, apalagi kuartal II dalam sekali. Kwartal III diperkirakan berada di sekitar minus 2,9 persen sampai minus satu persen.

Berarti memang sudah resesi. Namun pemerintah terus berupaya untuk mendorong perekonomian agar realisasi pertumbuhan pada kwartal IV bisa lebih baik meskipun secara keseluruhan tahun ini akan berada di teritori negatif, yaitu minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

Harapannya kwartal IV akan membaik dan ini sebenarnya yang menjadi fokus ke depan. Kalau resesi sebenarnya sepanjang tahun ini Indonesia sudah resesi.

Tak parah
Dunia usaha adalah lokomotif perekonomian setiap negara. Kini mereka menjadi salah satu pihak yang paling terimbas pandemi global.

Mereka juga meyakini bahwa ekonomi setiap negara sedang "terjun bebas", bahkan sejak awal tahun ini. Selama wabah belum tertangani, selama itu dunia usaha tak bisa bangun.

Baca juga: Langkah sigap agar keuangan keluarga kebal hadapi resesi ekonomi

Namun dunia usaha nasional khususnya yang ada di DKI Jakarta meyakini bahwa fundamental ekonomi masih cukup kuat. Karena itu, mereka masih menyimpan optimisme bahwa masa-masa sulit ini bisa dilalui.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang memperkirakan kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi akan membawa pada resesi pada triwulan III-2020. Namun tidak akan seburuk krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1998.

Dia melihat fundamental ekonomi masih kuat dan kondisi perbankan juga masih kuat. Berbeda dengan krisis tahun 1998 atau 2008 saat industri keuangan hancur.

Karena itu, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta tersebut menegaskan bahwa para pengusaha sejatinya tidak khawatir dengan dampak resesi.

Namun lebih kepada pandemi COVID-19 itu sendiri jika terjadi secara berkepanjangan.

Pandemi yang terjadi berkepanjangan justru berpotensi membuat para pengusaha tidak lagi mampu bertahan, menimbulkan masalah sosial hingga memasuki depresi ekonomi.

Resesi ekonomi di tengah pandemi COVID-19 tentu saja tidak bisa terelakkan, mengingat sejumlah negara maju bahkan telah lebih dahulu mengalaminya. Dalam kondisi tersebut, pengusaha tidak punya pilihan selain mengambil langkah bertahan, seperti efisiensi biaya operasional, termasuk sumber daya manusia yang mengakibatkan pengurangan karyawan.

Cara jitu yang harus ditempuh adalah efisiensi. Kemudian mengurangi berbagai pengeluaran yang mungkin tadinya ada dalam jangka menengah-panjang, harus direvisi. Risikonya, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pengurangan karyawan.

Untuk menahan laju agar jurang resesi ini tidak terlalu dalam, kalangan pengusaha mendorong agar pemerintah melalui Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mempercepat ketersediaan vaksin.

Selain itu menambah kemampuan testing spesimen, hingga menambah kesediaan tempat tidur di rumah sakit dan ruang isolasi.

Hadirnya vaksin tidak hanya membangun psikologis positif dari masyarakat dan pengusaha, tetapi juga tingkat kepercayaan dan optimisme yang akhirnya kembali menggairahkan dunia usaha.
 
Ketahanan Industri Kreatif Pengrajin kulit menyelesaikan pembuatan dompet pada ruang kerjanya di Jakarta, Selasa (7/4). Menurut Indonesia Marketing Association industri kreatif jenis digital maupun nondigital sangat layak dikembangkan di Indonesia karena mememiliki daya tahan terhadap resesi ekonomi. (ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna)

Kelas menengah
Selain mempercepat ketersediaan vaksin, upaya membangkitkan ekonomi bisa dengan menggugah kelas menengah ke atas. Kelas ini adalah aset dan punya aset yang potensial untuk menggerakkan perekonomian.

"Kita masih punya aset yang belum muncul. Kelas menengah baru kita ini ada 50 juta dan uang mereka saat ini ada, tetapi tidak berani dibelanjakan," kata Sarman.

Baca juga: Ekonom: peningkatan daya beli antisipasi resesi panjang

Akan tetapi ketika sudah normal, kelas menengah ini akan menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi.

Tidak dapat dipungkiri daya beli masyarakat ketika memasuki resesi akan semakin melemah. Diperkirakan kelas menengah yang berjumlah 50 juta orang belum membelanjakan uang mereka.

Masyarakat kelas menengah baru yang selama pandemi menyimpan pendapatannya untuk ditabung, menjadi penggerak perekonomian ketika mereka berinvestasi, baik properti, kendaraan bermotor hingga elektronik.

Selain itu, momen akhir tahun, yakni Natal dan Tahun Baru juga menjadi pemicu daya beli masyarakat kelas menengah. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan keputusan menggeser cuti bersama Idul Fitri ke akhir tahun.

Kalau pemerintah mampu menekan COVID ini melalui penyediaan vaksin, setidaknya bulan November bisa normal kembali dan aktivitas usaha sudah berjalan. Kalau harapan itu terwujud, pada kwartal IV ekonomi bisa tumbuh positif walaupun rendah, mungkin hanya 0,1 sampai 1 persen.

Intinya semakin cepat wabah ini tertangani semakin cepat ekonomi bisa dibangkitkan lagi. Dengan demikian jurang resesi tidak akan teramat dalam.

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020