• Beranda
  • Berita
  • Presiden Macron berjanji lawan 'separatisme Islamis'

Presiden Macron berjanji lawan 'separatisme Islamis'

2 Oktober 2020 22:40 WIB
Presiden Macron berjanji lawan 'separatisme Islamis'
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengangkat tangannya saat ia memberikan pidato pada konferensi teknologi tahunan "Inno Generation", yang diselenggarakan oleh bank investasi Prancis Bpifrance di Paris, Prancis, Kamis (1/10/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Gonzalo Fuentes/Pool/aww/cfo
Presiden Emmanuel Macron berjanji untuk melawan "separatisme Islamis", yang menurutnya mengancam mengendalikan  beberapa komunitas Muslim di seluruh Prancis.

Prancis telah bertahun-tahun bergulat menangani aliran garis keras keagamaan yang tumbuh di dalam negeri. Namun, pemerintah Macron semakin khawatir dengan tanda-tanda radikalisasi yang lebih luas --dan sering kali tanpa kekerasan-- dalam komunitas-komunitas Muslim, kata sejumlah pejabat Prancis.

Mereka merujuk sikap beberapa pria Muslim yang menolak berjabat tangan dengan wanita, kolam renang yang memberlakukan slot waktu alternatif untuk pria dan wanita, anak perempuan berusia empat tahun yang disuruh mengenakan cadar, serta maraknya sekolah agama 'madrasah'.

Lebih dari 250 orang telah terbunuh di Prancis selama lima tahun terakhir dalam serangan oleh orang-orang militan atau individu yang terinspirasi oleh kelompok-kelompok garis keras. 

"Yang perlu kita lawan adalah separatisme Islamis," kata Macron saat berkunjung ke Les Mureaux, pinggiran Paris yang miskin, Jumat.

"Masalahnya adalah ideologi yang mengklaim hukumnya sendiri harus lebih tinggi dari hukum Republik," ujar Macron.

Prancis menjalankan bentuk sekularisme secara ketat, yang dikenal sebagai laicite, yang dirancang untuk memisahkan agama dan kehidupan publik. Prinsip tersebut diabadikan dalam hukum pada 1905 setelah perjuangan anti klerikal dengan Gereja Katolik.

Dalam beberapa dekade terakhir, keinginan yang berkembang di kalangan Muslim Prancis untuk mengekspresikan identitas agama mereka telah mengalihkan fokus untuk menyeimbangkan kebutuhan agama dan kepentingan sekuler ke dalam Islam.

Banyak Muslim Prancis, bagaimanapun, telah lama mengeluhkan diskriminasi dan marginalisasi yang telah berkontribusi pada kemiskinan dan keterasingan sosial dalam komunitas mereka.

Prancis merupakan negara dengan minoritas Muslim terbesar di Eropa, berjumlah sekitar lima juta atau 7-8 persen dari total populasi.

Macron mengatakan praktik agama Islam yang congkak adalah sikap "separatis" karena, menurut pandangannya, praktik seperti itu bisa mengarah pada sikap memisahkan diri dari institusi dan aturan Prancis, kata para penasihatnya.

RUU untuk menangani separatisme Islamis akan disampaikan ke parlemen awal tahun depan, kata presiden.

Di antara langkah-langkah dalam rancangan undang-undang tersebut, Macron mengatakan sekolah di rumah akan sangat dibatasi untuk menghindari anak-anak "diindoktrinasi" di sekolah tak terdaftar yang menyimpang dari kurikulum nasional.

Para prefect, perwakilan lokal dari pemerintah pusat, akan diberi wewenang untuk membatalkan keputusan wali kota untuk membatasi kafetaria sekolah atau kolam renang hanya untuk perempuan atau laki-laki.

Belum ada reaksi dari komunitas-komunitas Muslim mengenai pernyataan Macron itu.

Kurang dari dua tahun sebelum kampanye kepresidenan berikutnya, Macron ingin tidak membiarkan dirinya bisa diserang oleh partai-partai beraliran politik kanan jauh dan konservatif tradisional mengenai berbagai masalah hukum dan ketertiban, seperti kejahatan dan imigrasi.  

Macron mengatakan Islam dan Islamisme radikal tidak boleh digabungkan dan dia ingin membangun "Islam yang mencerahkan" di Prancis. 

Pengajaran bahasa Arab akan didorong di Prancis dan Institut Islamologi akan didirikan, katanya. Namun, imam dari negara asing tidak akan lagi dapat melatih para ulama di Prancis dan akan ada kontrol yang lebih ketat atas pembiayaan masjid.

"Ada krisis Islam di mana-mana, yang dirusak oleh bentuk-bentuk radikal," kata Macron.

Namun, dia menambahkan bahwa Prancis memiliki tanggung jawab atas bagaimana praktik Islam berkembang di Prancis.

"Kita telah menciptakan separatisme kita sendiri," katanya, mengutip ghettoization atau daerah perkotaan yang terisolasi dan kurang mampu di beberapa lingkungan minoritas.


Sumber: Reuters

Baca juga: Paus Fransiskus tegaskan salah kaitkan Islam dengan kekerasan

Baca juga: Ratusan mesjid di Prancis buka pintu untuk awam

Baca juga: Prancis mencari Islam moderat lewat kampus


 

Mahasiswa Prancis belajar Islam di pesantren Deli Serdang

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020