"Dalam membuat suatu peraturan apalagi Undang-Undang itu harus ada ketegasan dan tidak menimbulkan multitafsir. Nah, spirit dari UU Kejaksaan ini adalah menetapkan fungsi jaksa sebagai lembaga pengendali perkara atau asas dominus litis," ujar Hibnu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Dalam pengendali perkara, kata Hibnu, jaksa bukanlah penyidik, tetapi tetap bisa mengontrol perkara mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat penuntutan.
“Ini paling tidak jaksa itu bisa memahami dan mengetahui di mana, apakah punya kewenangan penyidik menghentikan atau tidak, apakah diteruskan atau tidak. Ini yang harus dipahami. Menurut saya spirit dari UU itu, jadi, bukan terus mengambil alih,” kata dia.
Hibnu kembali menegaskan bahwa jaksa tidak bisa mengambil alih kewenangan penyelidikan dan penyidikan.
Dia mengatakan kewenangan penyidikan tetap ada di kepolisian. Namun, jaksa masih bisa berkoordinasi terkait hasil penyidikan tersebut.
“Jangan sampai ada suatu kesan ini mengambil alih fungsi polisi, tidak boleh. Jaksa itu sebagai penuntut umum. Tapi sebagai penuntut umum kan menerima berkas dari penyidik, bagaimana berkas penyidik itu betul-betul mempunyai nilai di dalam pembuktian, di sini perlu duduk bersama batasan kewenangan yang terjadi tadi,” ujar dia.
Diketahui, Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan, bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Baca juga: Soal RUU Kejaksaan, Zulkarnain soroti jaksa jadi penyidik
Baca juga: Pakar menilai RUU Kejaksaan meringankan kontrol terhadap Jaksa
Baca juga: Jaksa sebaiknya fokus penuntutan dan eksekusi
Baca juga: Prof Romli nyatakan revisi KUHAP dulu sebelum bahas RUU Kejaksaan
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020