"Di asrama atau pondok pesantren berkumpul orang dari berbagai daerah. Hal ini berisiko mempertemukan orang infeksius dengan mereka yang masih rentan," kata Citra Indriani melalui keterangan tertulis dari Humas UGM di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, karantina oleh para siswa atau santri setidaknya dilakukan di kamar tersendiri yang tidak bercampur satu sama lain hingga 14 hari pengamatan.
Baca juga: Gubernur nilai karantina mandiri pasien COVID-19 tidak efektif
Citra menyampaikan hal itu menanggapi ratusan santri yang berasal dari tiga pesantren di Kabupaten Sleman, DIY positif terinfeksi COVID-19. Sebelumnya, penularan virus corona juga telah terjadi di sejumlah pondok pesantren di Pulau Jawa. Penularan COVID-19 antarsiswa juga terjadi di pusat pendidikan Secapa AD di Jawa Barat.
Dosen FKKMK UGM ini menyampaikan bahwa upaya pencegahan penularan COVID-19, baik di asrama maupun pondok pesantren sangat dimungkinkan. Cara pencegahan utama yang bisa dilakukan, yakni dengan menerapkan protokol kesehatan.
Menurut dia, tidak masalah jika asrama atau pesantren ingin memulai pendidikan di tengah pandemi. Namun, Citra menekankan dalam pelaksanaannya harus mematuhi atau melaksanakan protokol kesehatan secara ketat. Selain itu, kegiatan pendidikan dilakukan secara perlahan dan bertahap.
Baca juga: Dinkes: Dua dokter positif COVID-19 jalani karantina mandiri
Baca juga: Tim KIPP jalani karantina setelah kontak Wagub Kaltim
"Membuat kondisi asrama atau pesantren membudayakan protokol kesehatan tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak bisa karena semua butuh waktu. Tak hanya itu, risiko buka tutup kelas tatap muka juga harus dipahami oleh penyelenggara pendidikan, formula yang tepat seperti apa perlu didiskusikan dengan Dinkes setempat," katanya.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020