Pencemaran udara, acap jadi isu penting di Jabodetabek, terutama di Jakarta. Isu ini selalu muncul kala musim kemarau ketika udara lama tak dibasuh hujan, sementara asap kendaraan mengambang bak awan jelaga di langit kota.Kita menuju ke sana
Penggunaan kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor, salah satu penyebabnya. Karena itu, mendorong penggunaan transportasi publik menjadi suatu keniscayaan.
Di kota-kota besar, fasilitas transportasi publik merupakan suatu keharusan karena seberapa besar pun pembangunan kota, khususnya perpanjangan jalan dan rel kereta tidak akan mampu mengimbangi laju penjualan kenderaan pribadi.
Salah satu indikasi kota sejahtera adalah tersedianya transportasi publik dengan cakupan luas, terintegrasi dan menyentuh pusat kegiatan, perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat wisata, spot kebudayaan, perumahan dan kediaman warga.
Transportasi yang bersih, aman dan nyaman dan terkoneksi dengan baik juga mendukung pariwisata. Wisatawan akan sangat terbantu dalam mengakses destinasi yang diinginkan dengan biaya murah dan mudah.
Kota-kota besar di dunia yang menyedot wisatawan mancanegara hampir dipastikan memiliki fasilitas transportasi publik yang aman, nyaman dan murah
Jabodetabek yang terdiri atas delapan kabupaten/kota (Kabupaten dan Kota Bogor; Kota Depok; Kabupaten dan Kota Tangerang; Kota Tengerang Selatan, serta Kabupaten dan Kota Bekasi), kemudian dan tiga provinsi (Jakarta, Jabar, dan Banten) merupakan wilayah yang paling dinamis dan pesat pertumbuhannya di Indonesia.
88 juta pergerakan
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada webinar SBM ITB, Rabu (5/8), mengatakan di Jabodetabek terdapat 33 juta penduduk dengan 88 juta pergerakan anggota masyarakat dalam satu hari.
Menteri mencatat 3,2 juta penduduk yang menjadi golongan commuter dari luar DKI Jakarta, sementara data Suku Dinas Perhubungan DKI di Jakarta saja pada tahun lalu terdapat 5,7 juta penduduk yang menggunakan angkutan umum dengan total 26,4 juta pergerakan perjalanan per hari.
Pemerintah memandang perlu membentuk badan khusus mengoordinasi transportasi publik yang nyaman dan terintegrasi di Jabodetabek sehingga terbentuklah Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada 2016 melalui Perpres No.103 Tahun 2015.
Baca juga: BPTJ: Belum ada laporan klaster transportasi publik COVID-19
BPTJ menjadikan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) sebagai pegangan. Garis besarnya mengakomodasi sejumlah program dan strategi pembangunan transportasi secara terpadu.
Pertama, integrasi perencanaan dan kebijakan terkait pengembangan pelayanan transportasi multimoda mencakup rencana pembangunan dan pengembangan oleh pemda dan pusat, serta masyarakat (swasta).
Kedua, terintegrasinya jaringan prasarana dan pelayanan baik intramoda maupun antarmoda. Ketiga, integrasi moda transportasi perkotaan mencakup proses perencanaan, pembangunan, hingga tahap pengoperasian (integrasi waktu).
Keempat, integrasi tarif/tiket dengan menerapkan sistem e-ticketing untuk layanan intramoda maupun antarmoda nontunai (cashless transaction). Kelima, integrasi sistem informasi dengan pemanfaatan teknologi informasi tentang moda angkutan, jadwal dan rute.
Keenam, integrasi pembiayaan dan kelembagaan, terutama pembiayaan pembangunan sehingga terwujud sinergi yang saling mendukung antarmoda. Sementara integrasi kelembagaan untuk menjamin adanya koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengoperasian dari berbagai moda yang saling terintegrasi.
Sembilan pilar
Target tersebut mengacu pada sembilan pilar RITJ berupa keselamatan dan keamanan transportasi; transportasi ramah lingkungan; jaringan prasarana; sistem transportasi berbasis jalan; sistem transportasi berbasis rel; manajemen rekayasa dan pengawasan lalu lintas; sistem transportasi terintegrasi; sistem pembiayaan; dan keterpaduan transportasi dan tata ruang.
Dengan strategi itu diharapkan pada akhir 2029, target pergerakan orang mencapai 60 persen. Target waktu perjalanan dengan angkutan umum rata-rata maksimal satu jam 30 menit dari tempat asal ke tujuan.
Target itu dapat tercapai jika perpindahan moda dalam satu kali perjalanan maksimal tiga kali. Kecepatan rata-rata pada jam puncak minimal 30 km/jam.
Aksesibilitas layanan angkutan umum perkotaan yang mencapai 80 persen dari panjang jalan. Dengan target itu, setiap daerah harus memiliki jaringan layanan transportasi lokal/pengumpan (feeder) yang terintegrasi dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi perkotaan.
Simpul itu harus memiliki fasilitas bagi pejalan kaki dan park and ride agar perpindahan moda ke angkutan umum mudah dan cepat.
Baca juga: Pandemi ubah kultur bertransportasi publik
Untuk itu, jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter. Demikian pula akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter.
Beberapa indikator kinerja utama RITJ itu telah menjadi kesepakatan bersama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk antara Kementerian Perhubungan dengan pemda.
Dampak positif pandemi
Dua tahun sudah berjalan, jika 2018 dijadikan titik awal pelaksanaan RITJ, sudah berapa persenkah realisasi dari target-target itu tercapai?
Kepala BPTJ Polana B. Pramesti mengatakan capaian sebelum pandemi COVID-19 di akhir Februari 2020, cukup menggembirakan. Misalkan, sudah sekitar 30 persen warga Jabodetabek menggunakan angkutan umum.
Pandemi mengubahnya menjadi turun lagi karena pembatasan penggunaan angkutan umum menjadi suatu kebijakan agar pengguna aman dari penularan.
Angkanya kisarannya belum dihitung pasti, kata Polana, tetapi secara hitungan kasar bisa dikatakan turun signifikan karena pembatasan merupakan salah satu cara mencegah penularan.
Pandemi juga mengubah prinsip transportasi publik yang semula 3S, safety, security, and services through compliances, ujar alumnus ITB itu, bertambah dengan satu S lagi, yakni jaminan sanitasi, termasuk di dalamnya higienis.
Dia berharap, kepercayaan masyarakat pada transportasi publik tetap terjaga dengan menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) karena aman dari COVID-19 menjadi utama.
Di sisi lain, pandemi juga memberi dampak positif pada program BPTJ, yakni penggunaan transportasi tanpa mesin (non-motorized transportation, NMT) yang identik dengan berjalan kaki dan bersepeda.
Perkuat imun
Pemda diminta untuk memberi trotoar yang nyaman untuk pejalan kaki dan jalur khusus bagi pesepeda. Itu pula sebabnya mengapa aksesibilitas layanan angkutan umum perkotaan yang mencapai 80 persen dari panjang jalan, transportasi yang terintegrasi dan jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter.
Demikian pula akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter, digunakan pada tahapan first mile dan last mile saat berproses menggunakan angkutan umum massal. Selain itu juga berjalan kaki dan bersepeda dapat menjadi alat utama untuk jarak jarak yang masih terjangkau, istilahnya untuk first mile and last mile atau sarana pertama menuju angkutan umum dan sarana terakhir untuk menuju tujuan akhir.
Baca juga: Dilema transportasi umum di era COVID-19
Perbanyak berjalan dan bersepeda dianjurkan di masa pandemi agar tubuh sehat, kuat dan menumbuhkan imunitas tubuh melawan COVID-19.
Dua tahun berjalan menuju 2029, sudah sampai di mana RITJ dijalankan? Polana mengatakan masih terlalu dini untuk menilainya tetapi ada satu hal yang positif, yakni tekad dan komitmen kuat delapan pemerintah kabupaten/kota dan tiga pemerintah provinsi untuk mewujudkan RITJ.
Koordinasi semakin mudah, komunikasi juga lancar. Kondisi pandemi menjadikan konsentrasi beralih pada penanganan kesehatan.
JR Conn
Jika ditanya, daerah mana yang terdepan dalam mewujudkan RITJ, Pollana menyatakan Jakarta karena dari sisi finansial juga lebih baik.
Pelebaran trotoar untuk pejalan kaki dan perpanjangan jalur sepeda di ibu kota sejalan dengan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Demam bersepeda saat ini merupakan hal yang baik untuk mewujudkan kota yang bersih dari polusi asap kendaraan bermotor. Gubernur DKI mencontohkannya dengan bersepeda pada saat kunjungan ke lapangan, meskipun dengan baju dinas atau berbatik.
Karena itu BPTJ mendorong angkutan umum, termasuk feeder bus dari perumahan atau Jabodetabek Residential Connexion (JR Conn) menyediakan tempat untuk sepeda lipat penumpang agar mereka bisa menggunakannya di tujuan akhir (last mile).
Idealnya, kata Polana, pada titik tertentu tersedia sepeda publik (bike sharing) yang bisa digunakan bersama sehingga tidak perlu membawa sepeda dari rumah ke tempat kerja dan menentengnya kembali ke rumah.
"Kita menuju ke sana," ujarnya.
Udara bersih karena berkurangnya penggunaan kendaraan (motor dan mobil) pribadi, penumpang sehat karena berjalan kaki dan bersepeda terakomodasi dalam transportasi terintegrasi.
BPTJ dengan RITJ bisa jadi model bagi kota besar lainnya.
Baca juga: Dokter beri tips aman bersepeda agar aman dari virus corona
Baca juga: Dua kawasan bersepeda di Jaktim ditutup sementara
Baca juga: Pakar: Olahraga seperti bersepeda kerap abaikan protokol kesehatan
Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020