Ia menjelaskan, misalnya, pasal 79 pada draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, sebelum diketuk palu di Rapat Paripurna, hanya berisi lima ayat.
Namun setelah dibaca kembali, keputusan dalam Rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang sebetulnya adalah ingin mengembalikan pasal-pasal itu kepada UU existing (UU Ketenagakerjaan).
"Pasal 79 ayat 1, ayat 2, ayat 3, itu juga adalah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi. Nah, itu yang kami kembalikan semua (kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan)," kata Supratman dalam konferensi pers yang digelar DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa.
Begitu pula dengan pasal 161 sampai pasal 172 UU Ketenagakerjaan telah diputuskan untuk kembali kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Namun saat proses editing draf UU Cipta Kerja, kata Supratman, terjadi simplifikasi agar semua ketentuan pasal 161 sampai pasal 172 UU Ketenagakerjaan, semua dicantumkan dalam pasal 154 UU Cipta Kerja.
"Jadi itu adalah keputusan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang kami (Baleg DPR RI) masukkan supaya sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh Panitia Kerja," kata Supratman.
Akibat dari proses editing tersebut, seorang jurnalis dari Detikcom menyadari adanya penambahan ayat pada pasal 79 draf final RUU Cipta Kerja yang berisi 812 halaman dengan pasal 79 draf RUU Cipta Kerja berisi 905 halaman yang tersebar di dunia maya.
Jurnalis bernama Rachel itu menanyakan kepastian apakah draf berisi 905 halaman yang ia dapat dari dunia maya merupakan draf palsu, atau DPR RI memang melakukan penambahan substansi juga, sewaktu proses editing draf UU Omnibus Law tersebut.
Baca juga: UU Ciptaker bisa jawab tantangan penciptaan peluang kerja untuk pemuda
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menegaskan anggota Dewan tidak akan berani melakukan penambahan apapun pada saat proses editing draf UU Cipta Kerja tersebut.
"Saya jamin, sesuai sumpah jabatan saya dan seluruh rekan (anggota DPR RI) yang ada di sini, tentu kami tidak berani dan tidak akan memasukkan selundupan pasal," kata Azis.
Azis mengatakan penambahan apapun yang dimasukkan terhadap draf UU Cipta Kerja yang telah diketuk palu pada rapat paripurna merupakan tindak pidana.
"Itu merupakan tindak pidana, apabila ada selundupan pasal. Berkaitan dengan apa yang dikatakan bapak Sekjen DPR RI (Indra Iskandar) yang tadi dikutip mbak dari Detikcom, bahwa kemarin ada 1.032 halaman. Kenapa hari ini 802 halaman, tadi saya sampaikan bahwa 1.032 itu kan rumor yang berkembang. Kemudian pada saat pengetikan draf final, untuk menjadi lampiran, sesuai ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2011, UU yang harus dikirim ke pemerintah harus menggunakan (margin) kertas legal secara resmi," kata Azis.
Azis menjelaskan bahwa pada saat pembahasan di Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, margin kertas masih ukuran biasa (A4).
Kemudian ketika dibawa ke Kesekjenan, maka harus mengikuti standar yang disepakati oleh Undang-Undang, maka margin diganti ke ukuran Legal.
Baca juga: Pengamat: Omnibus Law UU Cipta Kerja tingkatkan kemakmuran rakyat
Baca juga: DPR: Tenggang waktu penyampaian draf UU Cipta Kerja 14 Oktober 2020
Baca juga: Akademisi: UU Cipta Kerja bagus, beri kesempatan UMKM berkembang
"Saya telpon pak Sekjen, kenapa sudah keluar 1.032 halaman. Pak Sekjen jawab, pak (Azis) ini masih draf kasar. Masih diketik dalam posisi kertas bukan sebagai Legal paper-nya. Kemudian setelah dilakukan netting, kemudian pengetikan koma, garis-garisnya itu tidak diatur kembali. Kemudian setelah dilakukan pengetikan, dalam arti editing, mengikuti panduan Legal oleh bapak Sekjen dan jajaran, jumlah halamannya adalah 812 halaman, termasuk di dalamnya adalah penjelasan UU Cipta Kerja. UU secara resmi hanya 488 halaman," kata Azis.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020