Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari aplikasi palsu atau ilegal yang dapat membahayakan data pribadi.
"Kemudian, perhatikan identitas pembuat aplikasi ini karena biasanya identitas dari pembuat aplikasi agak aneh kalau memang palsu," ujar Charles dalam konferensi pers virtual, Selasa.
Perhatikan pula komentar ulasan pada aplikasi. Biasanya, menurut Charles, aplikasi palsu didominasi dengan komentar yang baik tanpa kritik.
Jumlah total unduhan juga perlu untuk diperhatikan. Jika sebuah aplikasi populer hanya memiliki sedikit unduhan, maka perlu dicurigai bahwa aplikasi tersebut palsu.
Baca juga: Google hapus 22 aplikasi penghasil klik palsu
Baca juga: Aplikasi ini berguna untuk membedakan perawatan ultherapy asli atau palsu
"Kalau mau lebih aman lagi, ada satu tips lagi, yaitu kita unduh aplikasi yang sudah ditandatangani atau sudah certified," kata Charles.
Dengan adanya certified apps, lanjut Charles, maka aplikasi tersebut akan menjadi aplikasi yang bisa dipercaya.
Meski aplikasi dalam toko resmi relatif lebih aman, riset yang dilakukan Charles menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen aplikasi yang ada pada Play Store masih mengandung malware.
Malware tersebut dapat berupa dari yang sederhana, seperti menampilkan iklan, hingga yang paling parah dapat mengunci akses ke ponsel, yang artinya meminta uang tebusan yang biasanya dalam bentuk bitcoin.
Charles menyebut modus kejahatan siber tersebut Ransomeware 2.0.
"Kalau Anda tidak serahkan maka informasi yang ada dalam handphone tersebut, termasuk foto-foto kita, chatting kita itu mereka ancam tidak akan dikembalikan bahkan mereka akan ekspos ke publik," ujar Charles.
Charles menambahkan mendeteksi secara keseluruhan sebuah aplikasi bebas malware merupakan hal yang sulit, namun jika langkah proteksi dilakukan, maka dapat meminimalisir ancaman kejahatan siber.
Baca juga: Banyak aplikasi "BBM untuk android" diduga palsu
Baca juga: 3 aplikasi pembuat chat palsu
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020