Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa green recovery akan menjadi pendorong transformasi ekonomi global yang berbasis lingkungan hidup terutama di masa pandemi COVID-19.Indonesia akan terus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon selain mencapai negara yang tahan iklim
“Indonesia akan terus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon selain mencapai negara yang tahan iklim,” katanya dalam keterangan resmi Kemenkeu di Jakarta, Jumat.
Sri Mulyani menuturkan green recovery akan menjadi pendorong transformasi ekonomi global yang berbasis lingkungan hidup karena pandemi telah berdampak pada krisis kesehatan masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut dia, ekonomi hijau yang berkelanjutan sangat penting dan bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lebih baik di masa depan.
Ia menjelaskan Indonesia sendiri telah meletakkan pondasi ekonomi hijau dan membuat beberapa kebijakan strategis untuk mendukung hal tersebut sejak sebelum pandemi terjadi.
Ia menyebutkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah memasukkan perubahan iklim menjadi arus utama dalam strategi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI) yang lebih luas.
Sementara itu, ia mengatakan pemerintah telah menerbitkan Sovereign Global Green Sukuk setiap tahun sejak 2018 dengan total 2,75 miliar dolar AS untuk mendukung dari sisi pembiayaan.
Hasil dari penerbitan dialokasikan untuk membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi banjir di daerah sangat rentan, akses ke energi dari sumber terbarukan, pengelolaan limbah, dan proyek efisiensi energi.
“Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi sekitar 8,9 juta emisi CO2,” ujarnya.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menuturkan pemerintah juga telah menerbitkan Ritel Sukuk Hijau pertama di dunia pada 2019 dengan total investasi sekitar 100 juta dolar AS.
Ia melanjutkan, pemerintah turut mengalokasikan 47,9 miliar dolar AS dalam rangka memberi stimulus fiskal khusus mengatasi dampak pandemi dengan 29 persen di antaranya untuk perlindungan sosial.
Kemudian 42 persen di antaranya untuk insentif pajak, kredit, dan stimulus bagi usaha kecil dan menengah serta badan usaha milik negara dan korporasi.
Stimulus itu termasuk pendanaan untuk proyek hijau padat karya seperti proyek restorasi bakau seluas 15 ribu hektare dan mempekerjakan sekitar 25 ribu orang di wilayah pesisir.
Ia menegaskan pendanaan tersebut harus dilakukan karena Indonesia membutuhkan setidaknya 247,2 miliar dolar AS atau sekitar 19 miliar dolar AS per tahun untuk mencapai target NDC pada 2030.
Selama 2016 sampai 2020, Indonesia telah mampu mendanai sekitar 34 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim nasional setiap tahunnya.
Di sisi lain, Indonesia tetap membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta dalam rangka mengatasi gap pembiayaan sebesar 66 persen dari total dana yang dibutuhkan.
Meski demikian, Sri Mulyani mengatakan sektor swasta masih harus menghadapi berbagai hambatan antara lain regulasi dan pasar keuangan yang belum berkembang.
Dalam menanggapi tantangan pihak swasta, pemerintah akhirnya memberikan fasilitas berupa kerangka regulasi dan kebijakan yang menguntungkan bagi mereka.
Pemerintah Indonesia memberikan berbagai insentif fiskal untuk meningkatkan pembangunan rendah karbon termasuk pendanaan geothermal untuk menangani risiko keuangan akibat eksplorasi.
“Peraturan Presiden tentang Penetapan Harga Karbon dan Harga Pembelian Pembangkit Energi Terbarukan sedang dalam proses penyusunan,” ujarnya.
Selanjutnya, berbagai skema kemitraan swasta dan publik yang inovatif juga terus dikembangkan yang salah satunya dengan memanfaatkan blended finance melalui pembentukan SDG Indonesia One dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Selain itu, Indonesia telah menetapkan peta jalan keuangan berkelanjutan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolionya pada proyek hijau.
“Beginilah cara kita menangani tantangan ganda yaitu dampak COVID-19 dan perubahan iklim,” tegasnya.
Baca juga: Sri Mulyani tegaskan Indonesia berkomitmen atasi perubahan iklim
Baca juga: Menkeu dorong transformasi ekonomi global berbasis pemulihan hijau
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020