Menurut dia, tumpang tindih kewenangan ini mengakibatkan adanya wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan pemprov malah jadi kewenangan pusat, begitu pun sebaliknya.
"Jadi ini ada miskomunikasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan pemerintah pusat terkait kewenangan PAP. Saya melihat sebenarnya banyak potensi besar pajak dari sektor ini bagi Provinsi Jawa Barat, tetapi iya itu ada tumpang tindih kewenangan," kata Husin di Bandung, Senin.
Politisi dari Partai Perindo ini mengatakan persoalan tidak adanya alat ukur jelas yang dimiliki Pemprov Jabar untuk menghitung penggunaan air yang dimanfaatkan perusahaan atau perorangan dan selama ini, Pemprov Jabar tidak berani berinvestasi untuk pengadaan alat tersebut.
Baca juga: Freeport bayar pajak air permukaan ke Pemprov Papua Rp1,4 triliun
Padahal, kata Husni, alat ukur tersebut sangat penting untuk mengantisipasi banyaknya praktik penipuan dalam pengukuran penggunaan atau pemanfaatan air permukaan yang dilakukan perusahaan, dengan tujuan menghindari pajak.
"Ada alat ukur jelas kok namanya kalau tidak salah water meter. Gara-gara tak ada alat ukur jelas, selama ini banyak perusahaan hanya membayar pajak air permukaan dari laporan penggunaan air yang tolak ukurnya tidak jelas, hasil dimanipulasi. Jadi perhitungannya seolah-olah pasif, Pemprov Jabar hanya menerima saja," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, Komisi III DPRD Jabar meminta Pemprov Jabar segera menindaklanjuti hal tersebut dan mulai dari menindak tegas perusahaan nakal yang menghindari bayar pajak air permukaan, segera merevisi aturan tarif dasar pajak air permukaan.
Husni juga meminta agar segera berkomunikasi dengan pemerintah pusat terkait kewenangan pengeloaan air permukaan dan segera berinvestasi untuk mengadakan alat ukur jelas dalam perhitungan penggunaan atau pemanfaat air permukaan.
Sehingga target penerimaan pajak air permukaan sebesar Rp320 hingga Rp500 miliar di APBD Perubahan Tahun 2020 atau di awal tahun 2021 bisa terealisasi.
"Jangan sampai banyak perusahaan yang memanfaatkan air permukaan di Jawa Barat, mengambil keuntungan yang besar tetapi tidak membayar pajak, bahkan hanya membayar pajak dengan nilai yang sangat kecil," kata dia.
Baca juga: KPK tangani masalah piutang pajak air permukaan di Kepri
Husin juga menuturkan alasan penerimaan pajak air permukaan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jabar masih minim dikarenakan adanya perusahaan yang mengakali atau curang terhadap pajak air permukaan dengan berbagai modus.
"Jadi begini salah satu sektor pajak yang jadi primadona adalah pajak air permukaan. Pajak air permukaan ini menjadi kewenangan provinsi sedangkan pajak air tanah itu kewenangan kabupaten dan kota. Tapi disayangkan, selama ini pajak air permukaan belum maksimal. Kenapa? Ya itu banyak faktornya," kata Husin.
Lebih lanjut ia mengatakan modus yang digunakan yakni modus sengaja tidak mengupdate izin ditambah lagi dengan perusahaan sama sekali tak memiliki izin tetapi tetap menggunakan atau memanfaatkan air, dan mereka ini didominasi perusahaan air minum nasional hingga multinasional.
Termasuk, kata dia, usaha perorangan, banyak juga pabrik, perkantoran sampai perusahaan non perusahaan air minum yang memodifikasi usahanya jadi perusahaan air minum.
"Salah satunya di Garut. Dari 13 perusahaan yang memanfaatkan air permukaan, hanya 3 yang berizin. Sisanya 10 tidak berizin tetapi tetap melakukan operasi dan mereka tidak membayar pajak. Jadi 10 perusahaan tersebut perusahaan daerah dan swasta besar," katanya.
Baca juga: Freeport diminta bayar pajak air permukaan Rp5,6 triliun
Selain itu, Husin juga mengungkapkan bahwa ada juga perusahaan yang berdalih karena tidak menggunakan air permukaan secara maksimal, akhirnya perusahaan tersebut tidak membayar pajak padahal perusahaan ini sudah lama memanfaatkan atau mengolah air.
"Dan berbagai alasan lainnya, banyak perusahaan yang tak mau membayar pajak air permukaan. Dalam hitungan dan temuan kami dari Komisi III DPRD Jawa Barat ada potensi besar untuk PAD dari pajak air permukaan ini yang hilang karena modus-modus tersebut," ungkapnya.
Husin memyebut, praktik tersebut mengakibatkan PAD Jawa Barat dari pajak air permukaan hanya Rp50 miliar per tahun padahal potensi penerimaan dari pajak air permukaan ini bisa mencapai Rp320 hingga Rp500 miliar pertahun.
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020