Hal ini, kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin, dalam tender paket CP 202 (pembangunan rute Harmoni-Mangga Besar), CP 205 (pengerjaan sistem serta elektrik perkeretaapian dan rel) dan CP 206 (pengadaan rolling stock atau kereta) tendernya kerap mengalami jalan buntu.
"Pengerjaan MRT Fase II dibiayai JICA dalam skema Special Terms for Economic Partnership (Tied Loan) sehingga sangat terikat dengan kriteria kontraktor utama harus berasal dari Jepang. Namun demikian, ternyata kontraktor Jepang terlalu konservatif dan tidak siap untuk mengambil risiko pembangunan di area Fase II," kata William.
"Jika minat pelaku industri di Jepang kurang, maka opsi pengadaan melibatkan kontraktor internasional lainnya dari luar Jepang kiranya dapat dibuka," ujar William.
Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia menyebutkan keengganan perusahaan dan kontraktor Jepang untuk menggarap proyek MRT Fase II ini terlihat dalam paket CP 202 untuk pembangunan jalur bawah tanah Harmoni-Mangga Dua.
Pihaknya meminta kontraktor mengerjakannya dengan empat Tunnel Boring Machine (TBM).
Tapi mereka hanya menyanggupi dua TBM, alasannya karena mereka juga memiliki proyek di Filipina, Thailand dan Myanmar.
Baca juga: MRT Fase IIA terancam tertunda akibat masalah tender Segmen 2
Hal itu tentu akan memperpanjang proses, padahal di sana dibutuhkan cepat mengingat kompleksitas kawasan yang padat dan banyak bangunan bersejarah.
"Lalu mereka keberatan dengan jadwal ketat 57 bulan, kami ubah bahkan jadi 74 bulan, kami lakukan modifikasi dalam tender yang ditawarkan berdasarkan input dari kontraktor, akhirnya kami harus kecewa karena tidak ada yang menawar padahal sudah memasukan usulan mereka," kata Silvia.
Kemudian untuk paket pekerjaan CP 205, yakni pengerjaan sistem serta elektrik perkeretaapian dan rel berpotensi mengalami kegagalan tender jika sampai 26 Oktober 2020 tidak ada yang melakukan penawaran.
Sebelumnya tender telah diperpanjang tiga kali, kemudian para kontraktor mengungkapkan tidak siap menanggung risiko interfacing (keterhubungan jadwal dan area kerja antara sistem sipil dan railway sistem) kemudian tetap meminta perpanjangan tenggat waktunya sampai 26 Desember 2020 yang bisa membuat jadwal mundur lagi.
Untuk CP 206, yakni pengadaan rangkaian kereta, Silvia menyebutkan, manufaktur dan perusahaan dagang Jepang menyatakan ketidaktertarikannya karena jumlah yang diajukan oleh MRT sebanyak 14 rangkaian (gabungan Fase IIA dan IIB) terlalu sedikit.
"Mereka juga menyebut memiliki pesanan dari berbagai negara hingga AS. Bahkan mereka melayani pesanan 300 kereta," kata Silvia.
Baca juga: MRT jelaskan sebab tender tiga paket pekerjaan Segmen 2 terkendala
Agar proyek Fase IIA ini dapat berjalan lancar, William menyebut Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang harus terus melakukan koordinasi dan penjajakan tingkat tinggi dengan harapan pemerintah Jepang lebih kuat lagi mendorong pelaku industri perkeretaapiannya untuk terlibat dalam proyek MRT Jakarta Fase IIA ini.
"Jika minatnya kurang ya opsi pengadaan melibatkan kontraktor internasional lainnya dari luar Jepang kiranya dapat dibuka dan disetujui bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang," tutur William.
Hingga saat ini, tutur William, telah banyak kontraktor yang mendekati untuk terlibat proyek MRT mulai dari China, Korea, Inggris, dan juga kontraktor dalam negeri, Wijaya Karya.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020