"(Publik dapat mengakses) Setelah naskah undang-undang ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI dan Berita Negara RI," kata Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono di Jakarta, Jumat.
UU Cipta Kerja yang memuat 11 kluster, 15 bab, 186 pasar dan merevisi 77 undang-undang telah disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Namun setelah pengesahan tersebut terjadi beberapa revisi baik di DPR maupun Sekretarian Negara (Setneg) untuk memperbaiki kesalahan ketik dan penyesuaian format teknis.
"Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan beberapa asas, salah satunya adalah asas 'kejelasan rumusan' (huruf f)," tambah Dini.
Baca juga: Istana jelaskan soal koreksi Pasal 46 UU Ciptaker oleh Setneg
Baca juga: Moeldoko: Pemerintah perhatikan aspirasi mahasiswa terkait UU Ciptaker
Baca juga: Mensesneg: Substansi RUU Ciptaker untuk Muhammadiyah dan DPR sama
Artinya menurut Dini, proses koreksi yang dilakukan Sekretariat Negara sudah sesuai dengan UU No 12 tahun 2011 tersebut.
"Proses 'cleansing' yang dilakukan oleh Setneg adalah dalam rangka memastikan bahwa asas 'kejelasan rumusan' tersebut terpenuhi," ungkap Dini.
Menurut Dini, proses 'cleasning' UU Cipta Kerja oleh Sekretariat Negara saat ini sudah selesai.
"Hanya pasal 46 yang dikeluarkan dari naskah UU Cipta Kerja, dan naskah UU Cipta Kerja sedang dalam proses penandatanganan Presiden Jokowi," ungkap Dini.
Seperti diketahui terungkap pasal 46 UU Cipta Kerja dikoreksi oleh Setneg. Hal itu terungkap karena dalam naskah naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Jokowi pada Rabu (14/12) masih ada pasal 46 mengenai minyak dan gas, namun belakangan pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam pada Rabu (21/10).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan pasal 46 terkait minyak dan gas bumi memang seharusnya dihapus dari UU Cipta Kerja karena karena Panja DPR tidak menerima usulan pemerintah soal pengalihan kewenangan penetapan "toll fee" dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Naskah UU Cipta Kerja hingga saat ini memang memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Draf elektronik pertama UU Cipta Kerja beredar dengan nama "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna.pdf" pada 5 Oktober 2020, saat RUU Cipta Kerja disahkan DPR menjadi UU dengan jumlah 905 halaman.
Selanjutnya pada Senin (12/10) pagi, beredar dokumen elektronik lain dengan nama "RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf setebal 1035 halaman.
Masih pada Senin (12/10) namun sore harinya muncul lagi draf elektronik UU Cipta Kerja berjudul "RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN.pdf". Jumlah halaman pada dokumen itu menyusut menjadi 812 halaman.
Naskah setebal 812 halaman itulah yang diserahkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar pada Rabu (14/10) kepada Sekretariat Negara.
Saat UU tersebut diserahkan Mensesneg Pratikno ke sejumlah ormas Islam naskah berubah lagi menjadi 1.187 halaman.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020