Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menginisiasi pendirian Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Gunungkidul DI Yogyakarta sehingga petani dapat memadukan ilmu titen, ilmu tradisional Jawa untuk membaca gejala alam, dengan teknologi perkiraan cuaca."SLI ini untuk antisipasi terhadap dampak fenomena iklim ekstrem serta menjadi langkah adaptasi terhadap usaha pertanian apabila terjadi iklim ekstrem seperti banjir atau kekeringan,"...
"SLI ini untuk antisipasi terhadap dampak fenomena iklim ekstrem serta menjadi langkah adaptasi terhadap usaha pertanian apabila terjadi iklim ekstrem seperti banjir atau kekeringan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam rilis yang diterima di Jakarta, Rabu.
SLI di Kalurahan Ngalang, Kapanewon Gedangsari tersebut merupakan SLI ketiga di Kabupaten Gunungkidul.
SLI merupakan salah satu kegiatan rutin BMKG sebagai bentuk pelayanan untuk masyarakat dengan memberi literasi mengenai banyak hal terkait meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
SLI BMKG digelar dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas hasil petani di kawasan terkait.
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X saat memberi sambutan virtual SLI, Selasa (3/11) mengatakan, dulu petani tradisional dalam menentukan masa tanam selalu mengandalkan pranata-mangsa, perhitungan iklim berdasarkan ilmu titen yang turun-temurun.
Baca juga: Sekolah Lapang Iklim jangkau sekitar 9.000 peserta di 33 provinsi
"Tapi saat ini, setelah terjadinya anomali iklim yang sulit diprediksi, cara-cara lama itu sulit digunakan lagi," ujar Sultan.
Maka salah satu upaya yang dilakukan dengan menginisiasi SLI untuk membantu menghindari dampak salah mangsa. Teknologi yang dimiliki BMKG, misalnya terkait informasi cuaca, prediksi dan lainnya jika dipadukan dengan ilmu titen akan membantu petani mengantisipasi dampaknya.
Sultan mengatakan, kehadiran BMKG lewat SLI, selain untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi, juga bisa memberi advis dan pengadaan tanaman untuk konservasi air.
Seperti penanaman pohon produktif agar sumber mata air tetap terjaga, juga diperlukan jenis tanaman untuk menjaga stabilitas tanah serta mencegah erosi dan longsor, seperti akar wangi tumpangsari dengan rumput gajah.
Sebelumnya, BMKG telah mengeluarkan informasi mengenai anomali iklim La Nina dalam kaitannya dengan potensi musim hujan tahun 2020/2021.
La Nina adalah kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudra Pasifik, terjadi dalam skala waktu beberapa bulan hingga tahun yang mempengaruhi iklim global.
Baca juga: BMKG gelar SLI untuk mudahkan penyebaran informasi kualitas udara
La Nina yang berkembang bersamaan dengan musim hujan diprediksikan akan meningkatkan curah hujan 10 hingga 30 persen dalam satu bulan untuk wilayah Gunungkidul.
Kondisi tersebut berdampak positif terutama bagi wilayah-wilayah yang biasanya kering, seperti Gunungkidul, akan mendapatkan pasokan air yang cukup bahkan lebih.
Untuk memanfaatkan pasokan air tersebut, petani-petani Gunungkidul sudah menyiapkan tampungan air berupa dam air di Kali Ngalang untuk mengairi lahan pertanian dan mengendalikan air agar tidak banjir.
Namun perlu juga diwaspadai dampak negatifnya, yaitu meningkatnya potensi longsor khususnya di Kecamatan Gedangsari yang secara topografi memang rawan longsor.
"Hal ini bisa diantisipasi dengan melakukan pengaturan tata air. Perlu ada sistem drainase atau suling-suling di lereng-lereng untuk mengalirkan air. juga perlu ditanam tanaman yang mengikat tanah, dan tidak memberikan pembebanan kepada lereng yang berlebih dan tidak memotong lereng," kata Dwikorita Karnawati.
Baca juga: SLI di Temanggung tingkatkan produktivitas padi 9,7 persen
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020