Tambang uang dan stigma prihatin Bantargebang

8 November 2020 20:43 WIB
Tambang uang dan stigma prihatin Bantargebang
Pemulung mencari sampah plastik di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. ANTARA/Andi Firdaus.

sebagian masyarakat di Bantargebang saat ini mengalami psikososial atau ketergantungan terhadap donasi

Kisah pemulung sampah beromzet sampai ratusan juta rupiah memang nyata ditemukan di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Meski  mereka berstatus jutawan, namun di sisi lain, stigma prihatin masih melekat dengan kehidupan sosial masyarakat di sana.

Iboh (41), merupakan salah satu contohnya.   Warga  RT01 RW02 Kelurahan Sumur Batu, Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat ini  mampu meraih pendapatan Rp136 juta rupiah dari hasil menjual rata-rata 200 ton sampah plastik per bulan. Angka itu dengan mudah bisa didapat oleh pria yang bernama lengkap Ibrohim ini.

Kelurahan Sumur Batu sendiri saat ini merupakan salah satu dari tiga kelurahan di Kecamatan Bantargebang yang menjadi lokasi timbunan sampah dengan volume mencapai 39 juta meter kubik.

Baca juga: Komunitas relawan muda salurkan APD ke petugas TSPT Bantargebang

Lahan seluas total 110,3 hektare di lokasi itu diperuntukkan sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Di sana rata-rata 7.700 ton sampah warga Jakarta dibuang setiap hari.

Hasil studi terakhir yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2017 dilaporkan komposisi sampah plastik TPST Bantargebang masih mendominasi sebanyak 35,28 persen atau setara 13,7 juta ton.

Bagi pria 40 tahun itu, sampah plastik yang terselip di antara sampah organik dan residu di perbukitan sampah setinggi 15-20 meter merupakan tambang uang untuk siapa saja yang mau melihat sampah sebagai berkah, bukan masalah.

Iboh bersama 32 anak buahnya yang direkrut dari Banten mengumpulkan setidaknya 200 ton sampah plastik. Mereka bekerja delapan jam sehari untuk mengumpulkan sampah plastik sebanyak itu.

Baca juga: Cegah corona, asosiasi pemulung desak pemerintah lindungi warga TPST

Saat ini belum ada standar harga sampah plastik. Nilai plastik dihitung berdasarkan permintaan pasar atas hasil olahan menjadi bijih.

Salah seorang anak buah Iboh rata-rata berpendapatan paling sedikit Rp100 ribu per hari dari hasil mengumpulkan kantong kresek, botol minuman, kemasan makanan instan, hingga perabotan rumah tangga yang sudah rusak.

"Kalau saya ngasih (harga plastik) ke anak buah itu Rp400 per kilogram. Biasanya selama delapan jam kerja, satu bocah (anak buah) terkumpul 250 Kilogram per hari. Ditimbang tiga hari sekali, terus dibayar," katanya.

Jika dikalkulasi, Iboh sanggup memberikan nafkah kepada 32 anak buahnya setiap bulan total Rp96 juta dari sampah plastik.

Kemudian 200 ton sampah yang terkumpul dalam sebulan dijual oleh Iboh kepada Burhan seharga Rp600 per kilogram.

Burhan terkenal sebagai pengepul sampah plastik yang membuka jaringan pemulung ke sejumlah bos pengolahan bijih plastik di Bantargebang.

Baca juga: Aktor dunia Leonardo DiCaprio ikut soroti Bantargebang

"Kalau untuk saya Rp40 juta sih per bulan bisa dapat dari Burhan," kata Iboh.

Dari tangan Burhan, sampah-sampah plastik itu kemudian dipilah sesuai kualitasnya, lalu dikemas dan dibersihkan untuk dijual ke produsen bijih plastik.
Pemulung  sampah plastik anak buah Iboh tengah beristirahat di gubuk sampah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA/Andi Firdaus)


Tambang uang
Media massa asing The New York Times menyebut Bantargebang sebagai daerah tujuan bagi orang-orang yang putus asa terhadap pekerjaan. Berita itu disiarkan pada 27 April 2020.

TPST Bantargebang adalah salah satu 'landfill' terbesar dunia yang luasnya setara dengan 200 lapangan sepakbola.

Aktor Hollywood Leonardo Dicaprio dalam postingan di akun Instagram @leonardodicaprio pada 15 Maret 2019 menyebut Bantargebang sebagai penyumbang polusi plastik terbesar di dunia setelah Cina dengan produksi 187,5 ton sampah plastik per tahun.

Saat ini tidak kurang dari 6.000 pendatang asal daerah lain ikut mencoba peruntungan mencari penghasilan dari tumpukan sampah di Bantargebang.

Nyatanya bukan hanya sampah plastik yang mereka sasar, limbah elektronik pun ternyata sanggup diubah menjadi lempengan emas.

Paul Goodman dalam jurnal berjudul "Current and Future Uses of Gold in Electronics" menyatakan bahwa dalam perangkat elektronik, unsur logam emas digunakan sebagai bahan 'electroplating' untuk melapisi logam.

Fungsi ini terutama digunakan pada bagian konektor dan kontak pada papan sirkuit perangkat elektronik karena emas merupakan konduktor elektrik yang baik, terutama bagi perangkat bertegangan rendah.

Baca juga: DKI sebut tiga program ini antisipasi penutupan TPST 2021

Selain itu, pemanfaatan emas pada perangkat elektronik memiliki daya tahan yang kuat terhadap korosi, bila mencampur emas dengan sejumlah kecil nikel atau kobalt, mampu menghasilkan konduktor elektrik yang memiliki ketahanan kuat.

Pengolah sampah elektonik, Iskandar (32) membenarkan pernyataan itu. "Biasanya kalau harga emas lagi bagus, kita bareng-bareng nyari sampah elektronik, misalnya kuningan di kartu perdana telepon, handphone rusak, hardisk komputer, partisi komputer dan lainnya," katanya.

Langkah awal yang dikerjakan adalah memilah bagian-bagian yang bisa diolah menjadi emas, salah satunya adalah perangkat integrated circuit (IC).

Komponen elektronik yang mengandung emas selanjutnya dilebur menggunakan timah panas hingga muncul sejumlah zat logam seperti emas, perak, tembaga, dan kuningan lalu dipisahkan menggunakan nitrit, yakni zat kimia yang digunakan untuk memunculkan emas setelah dilebur.

"Kalau sudah jadi biasanya saya jual ke pengepul plastik atau toko emas dengan harga pasaran saat ini," katanya.

Selain lempengan emas, berbagai benda berharga milik masyarakat yang tidak sengaja terbuang juga sering ditemukan pemulung di bukit sampah. Misalnya arloji merk Rolex, sertifikat penting, perhiasan, hingga uang tunai.

"Saat banjir Januari 2020, pernah gubuk saya didatangi polisi, dia bawa orang yayasan dari Jakarta yang mengaku hilang uang Rp500 juta, kebetulan anak buah saya yang nemu, ya saya pulangin. Pernah jam tangan Rolex asli masih lengkap sama surat-suratnya saya nemu di  dekat TPA Sumurbatu," kata Iskandar.

Stigma prihatin
Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi pada 2019, sampah hanya sebagian kecil dari potensi ekonomi yang ada di wilayah berpopulasi 126.157 jiwa itu.

Kepala BPS Kota Bekasi Annazri mengemukakan sektor lainnya adalah produksi tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar hingga kacang tanah dengan hasil produksi 4.595 ton per tahun.

Selain itu produksi buah-buahan dengan jumlah hasil panen 6.786 ton per tahun. Hasil daging ternak dan unggas 618 ton per tahun serta ikan mencapai 26.682 ton per tahun.

Baca juga: Pengolahan sampah DKI menjadi batu bara optimal mulai 2020

Bantargebang sebenarnya memiliki potensi ekonomi di atas rata-rata 11 kecamatan lainnya di Kota Bekasi, namun mengapa stigma prihatin hingga kini identik dengan kondisi sosial masyarakat di sana?

Tokoh masyarakat Bantargebang Komarudin mengungkapkan sebagian masyarakat di Bantargebang saat ini mengalami psikososial atau ketergantungan terhadap donasi.

"Sekarang coba anda turun dari mobil dengan menjinjing kantong kresek di sekitar tempat sampah, pasti mereka akan berkerumun dan menyangka itu bantuan. Kondisi seperti ini yang menurut saya semacam psikososial di sini," katanya.

Donasi untuk warga Bantargebang tidak hanya dikumpulkan lewat aktivis sosial yang berkecimpung di LSM lokal ataupun asing, namun juga datang dari pemerintah lewat kompensasi bau sampah.
 
Seorang pemulung memungut dan memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/5/2019). Sampah-sampah tersebut dipilah kembali oleh pemulung karena masih bernilai ekonomis. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)


"Saya tidak setuju dengan cara-cara donasi memotret anak-anak pemulung yang tidak optimistis pada masa depan lalu disebar hingga penjuru dunia. Teman dari Non Governmnet Organization  (Lembaga Swadaya Masyarakat/ LSM) berkepentingan menjadikan anak pemulung sebagai komoditas donasi saja," katanya.

Selain itu, kompensasi bau melalui bantuan tunai rata-rata senilai Rp32 miliar per tahun dari pemerintah belum dikelola secara optimal oleh warga. "Biasanya uang hasil memulung sampah, bantuan pemerintah dan lainnya dia pakai untuk belanja yang tidak penting di mal," katanya.

Padahal bila besaran dana kompensasi bau per kepala keluarga Rp900 ribu setiap tiga bulan dipakai membeli mesin pengolah sampah, kata Komarudin, warga bisa meningkatkan taraf hidup.

Solusi untuk menghapus stigma prihatin di Bantargebang adalah dengan menghentikan eksploitasi kemiskinan serta meningkatkan kualitas pendidikan.

Bantargebang saat ini memiliki total 61 sekolah tingkat SD hingga SMA/SMK. Namun dari total 30.474 penduduk usia pelajar, hanya 11.000 jiwa di antaranya yang memanfaatkan fasilitas sekolah negeri maupun swasta untuk mengenyam pendidikan. Sisanya berprofesi sebagai pemulung, peternak atau berkebun.

Mayoritas anak putus sekolah, kata Komarudin, dikarenakan para pendatang dari luar daerah yang tidak memiliki ijazah untuk bekerja di perusahaan.

"Anak-anak di sini lebih baik  mulung sampah daripada harus belajar di sekolah. Makanya kita butuh yang namanya sekolah keliling. Guru datang ke rumah-rumah siswanya dan mengajar. Kalau mau serius, coba berangkatkan warga saya dengan beasiswa ke luar negeri untuk menjadi pakar persampahan," katanya.

Stigma prihatin tidak seharusnya melekat pada warga Bantargebang jika berkaca pada potensi lingkungan yang ada. Dibutuhkan perspektif yang sama terhadap peluang yang kini berhasil digarap oleh Iboh. Sampah adalah berkah, bukan masalah.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020