• Beranda
  • Berita
  • Jelang KTT, ASEAN diharapkan tetap netral di tengah rivalitas AS-China

Jelang KTT, ASEAN diharapkan tetap netral di tengah rivalitas AS-China

11 November 2020 19:20 WIB
Jelang KTT, ASEAN diharapkan tetap netral di tengah rivalitas AS-China
Pertemuan para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dilaksanakan secara virtual, Selasa (10/11/2020). ANTARA/HO-Kemlu RI/am.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) diharapkan dapat menjaga netralitas dan persatuan di tengah rivalitas antara dua negara kuat dunia, Amerika Serikat dan China, kata beberapa pengamat dan lembaga kajian hubungan internasional di Jakarta, Rabu.

Harapan itu disampaikan saat diskusi bertajuk sentralitas ASEAN yang diadakan oleh The Habibie Center, beberapa hari jelang konferensi tingkat tinggi ASEAN ke-37 yang akan diselenggarakan secara virtual pada 12-15 November 2020.

Menurut Lina A Alexandra, peneliti dari Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, sentralitas, yang jadi visi bersama ASEAN sebagaimana disebutkan dalam berbagai deklarasi, hanya akan terwujud jika 10 negara anggota dapat berlaku netral dan tidak berpihak pada salah satu kubu.

"Namun, tantangan terbesar untuk mewujudkan sentralitas ASEAN justru datang dari sikap sepuluh negara anggota yang kurang kompak dan cenderung terbelah, terutama jika menyangkut pada keberpihakan pada isu rivalitas AS dan China", kata Lina A Alexandra saat sesi diskusi.

"Kita tidak dapat melupakan fakta bahwa ada beberapa negara anggota yang cenderung lebih berpihak pada salah satu kubu (AS atau China, red). Oleh karena itu, harus ada keseimbangan. Netralitas artinya negara anggota dapat menerapkan prinsip imparsial (tidak berpihak, red), dan tidak digerakkan oleh kepentingan negara-negara adidaya," ujar dia saat menjelaskan tantangan mewujudkan sentralitas ASEAN.

Meskipun keberpihakan itu tidak tampak jelas dan abu-abu, beberapa pihak seperti eks pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Singapura, Bilahari Kausikan bulan lalu berpendapat Kamboja dan Laos cenderung lebih memihak ke China, khususnya terkait isu sengketa wilayah perairan Laut China Selatan.

Walaupun demikian, tudingan itu angsung dibantah oleh sejumlah eks diplomat Kamboja.

Sementara itu, hasil survei ISEAS-Yusof Ishak Institute, lembaga kajian asal Singapura, bulan lalu menunjukkan sebagian besar responden di tujuh negara anggota ASEAN punya kecenderungan lebih mendukung China daripada AS. Survei tersebut diikuti oleh total 1.308 pengamat yang tersebar di  sepuluh  negara anggota ASEAN.

Tujuh negara itu mencakup Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, dan Thailand, sementara dua negara yang lebih berpihak kepada AS adalah Filipina dan Vietnam, demikian hasil jajak pendapat ISEAS-Yusof Ishak Institute sebagaimana diberitakan Nikkei bulan lalu.

ASEAN, menurut Lina, telah menjadi ruang bagi AS dan China untuk berebut pengaruh. Oleh karena itu, ia menegaskan seluruh negara anggota ASEAN perlu meningkatkan persatuan dan menjaga netralitas di tengah perpecahan antara dua negara adidaya dunia.

Dalam sesi diskusi yang sama, pengajar dan pengamat hubungan internasional dari Bina Nusantara University, Moch Faisal Karim, berpendapat Indonesia harus memainkan peran lebih aktif dan konkret dalam menjaga netralitas ASEAN.

"Indonesia harus kembali mengingatkan negara-negara anggota mengenai pentingnya menjaga sentralitas ASEAN, meskipun Indonesia tidak dapat sepenuhnya mendesak negara-negara anggota untuk tetap netral karena kita tidak memiliki banyak sumber daya dan kekuatan ekonomi yang dapat ditawarkan ke negara-negara anggota," kata Faisal Karim.

Baca juga: Dalam pertemuan ASEAN, Menlu RI soroti penguatan kerja sama dengan AS
Baca juga: China peringatkan negara Asia untuk waspada terhadap strategi AS
Baca juga: KTT ASEAN berlangsung di tengah gesekan antara AS dan China

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020