• Beranda
  • Berita
  • Cegah pneumonia, jangan cium balita kalau Anda batuk dan pilek

Cegah pneumonia, jangan cium balita kalau Anda batuk dan pilek

12 November 2020 16:58 WIB
Cegah pneumonia, jangan cium balita kalau Anda batuk dan pilek
Ilustrasi (ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp.)
Dokter spesialis anak, Prof. Soedjatmiko melarang Anda yang mengalami batuk atau pilek mencium bayi dan balita di sekitar Anda untuk mencegah mereka terkena penyakit akibat bakteri, virus atau jamur termasuk pneumonia di masa pandemi COVID-19 saat ini.

"Bakteri, virus, jamur ada di mana-mana. Kalau ada keluarga yang batuk pilek, jangan mencium bayi dan balita," kata dia di sela peringatan Hari Pneumonia Dunia 2020 secara daring, Kamis.

Baca juga: Wury Ma'ruf Amin: Pneumonia ancam kehidupan anak Indonesia

Baca juga: Menteri PPPA: Lingkungan sehat cegah pneumonia pada anak


Selain itu, sebaiknya pakailah masker dan mencuci tangan sebelum menyentuh bayi dan balita serta segeralah berobat untuk memulihkan kondisi Anda.

Soedjatmiko mengatakan, patogen penyebab pneumonia bisa masuk ke hidung, saluran napas anak dan merusak paru-parunya saat kekebalan tubuhnya yang rendah. Penyebab rendahnya kekebalan ini karena beberapa faktor antara lain asap rokok, debu di rumah yang kemudian merusak saluran napas, kurangnya anak mendapatkan asupan ASI eksklusif sehingga menyebabkannya kurang gizi.

Belum lagi jika si kecil lahir dengan berat badan rendah, tidak diimunisasi, menderita penyakit kronik dan terlambat berobat sehingga maka kondisi ini membuatnya berisiko kehilangan nyawa karena pneumonia.

Dari sisi gejala, Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Nastiti Kaswandani pernah mengatakan, pneumonia ditandai sejumlah gejala antara lain demam, batuk dan kehilangan nafsu makan, yang seringkali disalahartikan sebagai selesma dan flu.

Baca juga: Wury Ma'ruf Amin: Pneumonia dapat dicegah

Baca juga: Empat fakta yang harus diketahui orangtua mengenai pneumonia anak


Selain gejala itu, penderita juga bisa mengeluhkan sesak napas dan napasnya sangat cepat dari biasanya. Demam yang berlangsung pun bisa berlanjut 2-3 hari.

"Curigai pneumonia kalau gejalanya berlanjut, (yakni) demam 2-3 hari. Tanda penting lainnya anak terlihat napasnya lebih cepat dari biasanya, sesak napas," ujar Nastiti dalam sebuah talk show virtual bertema "Selamatkan Anak dari Bahaya Pneumonia di Masa Pandemi", bebarapa waktu lalu.

Dia menyarankan, ketika gejala seperti ini muncul, segeralah membawa penderita ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dini dan menyelamatkan nyawanya.

Dari sisi angka kasus, Indonesia termasuk negara dengan penurunan angka kasus pneumonia pada tahun 2019 yakni 153.00 kasus atau lebih rendah 25.000 kasus dibandingkan tahun 2007.Sementara pada balita jumlah kasusnya mencapai 314.000 atau turun 24.000 kasus sejak tahun 2007.

Kendati begitu, Soedjatmiko mencatat angka kematian yang cukup tinggi setiap tahunnya yakni sekitar 400-600 orang lalu melonjak hingga 1750 orang pada tahun 2017.

"Bahkan pernah 2017 sekitar 1750-an dan tahun 2020 mungkin sebagian karena COVID-19. Karena kejadian COVID-19 ini pada anak termasuk tinggi dibanding negara lain. Juni 2020, kematian COVID-19 pada anak terutama pada usia bayi dan balita, sebagian pneumonia pada bayi balita mungkin karena COVID-19," tutur dia.

Sementara itu, data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 mencatat, pneumonia menjadi penyebab kematian balita kedua di Indonesia setelah persalinan preterm dengan prevalensi 15.5 persen.

Dari sisi penyebab, belum terpenuhinya ASI eksklusif yakni hanya 54 persen, berat badan lahir rendah (10,2 persen), dan belum imunisasi lengkap (42,1 persen), polusi udara di ruang tertutup dan kepadatan yang tinggi pada rumah tangga merupakan di antaranya.


Baca juga: WHO tambahkan kasus pneumonia mirip corona Kazakhstan ke data COVID-19

Baca juga: Dokter: Bedakan pneumonia karena COVID-19 atau bakteri dengan tes swab

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020