"Biaya kampanye pasangan calon kepala daerah itu cukup besar yakni belasan hingga puluhan miliar rupiah. Kalau calon kepala daerah tidak memiliki cukup dana, dikhawatirkan menempuh jalan transaksional," katanya melalui telepon selulernya, Jumat.
Menurut Jerry Masie, pasangan calon kepala daerah yang tampil berkompetisi pada pilkada, sangat tergantung pada partai politik atau koalisi partai politik pengusung dan pendukungnya.
"Ada pasangan calon kepala daerah yang dananya untuk mahar politik atau ada juga yang melakukan kontrak dengan pihak ketiga sebagai sponsor," katanya.
Baca juga: Dana kampanye calon kepala daerah dinilai perlu diaudit
Baca juga: KPK selidiki dugaan korupsi calon kepala daerah
Baca juga: Pakar: ASN harus netral untuk hasilkan pilkada berkualitas
Kalau calon kepala daerah "bermain" dengan sponsor, kata dia, maka setelah calon itu terpilih menjadi kepala daerah, sang sponsor pun memanfaatkan jasannya.
"Ketika si calon tersebut sudah menduduki jabatan kepala daerah, sang sponsor akan meminta proyek," katanya.
Jerry melihat, sejumlah kepala daerah rentan terseret pada arus korupsi karena setelah menduduki jabatan harus mengembalikan pinjaman kepada sponsor dan menyiapkan modal untuk pilkada berikutnya.
"Pengembalian pinjaman itu sering diberikan melalui proyek, khususnya proyek penunjukan langsung," katanya.
Jerry juga mengingatkan partai politik agar mencari figur calon kepala daerah yang kemampuan finansialnya telah mapan. "Bisa juga partai politik atau koalisi partai politik membantu mendonasikan biaya kampanye untuk pasangan calon kepala daerah," katanya.
Menurut Jerry, sejak diselenggarakannya pilkada secara langsung mulai tahun 2005, sampai saat ini tercatat ada sekitar 300 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka. "Dari jumlah tersebut sebanyak 124 kasus, ditangani oleh KPK," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020