• Beranda
  • Berita
  • Anggota DPR nilai RUU Ketahanan Keluarga belum urgen

Anggota DPR nilai RUU Ketahanan Keluarga belum urgen

16 November 2020 15:01 WIB
Anggota DPR nilai RUU Ketahanan Keluarga belum urgen
Anggota Badan Legislasi DPR RI Nurul Arifin. ANTARA/Abdu Faisal.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nurul Arifin menilai Rancangan Undang-Undang tentang Ketahanan Keluarga yang diajukan beberapa anggota DPR RI belum urgen karena sudah ada beberapa UU yang mengatur terkait ketahanan keluarga.

"Kami melihat RUU Ketahanan Keluarga ini belum urgen dan belum perlu karena melihat banyak UU yang bisa mewakili terkait ketahanan keluarnya misalnya UU nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera," kata Nurul dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Ketahanan Keluarga di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan dalam UU 10 tahun 1992 disebutkan bahwa ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

Selain itu menurut dia, dalam UU nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang peran keluarga.

"Lebih baik merevisi UU Perkawinan yang sudah ada karena belum terealisasi daripada membuat UU baru yang substansinya terlalu luas dan mengurusi segala macam hal," ujarnya.

Nurul juga menyoroti terkait Pasal 27 huruf 3 dalam RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur hak cuti dan hak tunjangan pekerja padahal dalam Pasal 82 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur yaitu memperbolehkan pekerja perempuan memperoleh istirahat 1,5 bulan sebelum dan setelah melahirkan.

Dia tidak mempermasalahkan kalau ingin memperkuat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui RUU Ketahanan Keluarga namun dalam draf RUU tersebut banyak poin-poin yang ikut campur dalam ranah privat.

"Sebaiknya kita berpikir ulang, karena masyarakat Indonesia heterogen, tidak mungkin dapat diseragamkan. Saya melihat RUU ini terlalu ribet dan banyak sekali mengurus hal-hal yang seharusnya tidak perlu diurus (negara)," kata politikus Partai Golkar itu.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: RUU Ketahanan Keluarga harus dicabut dari Prolegnas

Anggota Baleg DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Putra Nababan menjelaskan dalam keseharian masyarakat Indonesia, keluarga terdekat merupakan pihak yang akan menolong apabila ada anggota keluarganya yang mengalami kesulitan.

Dia mencontohkan dalam masyarakat batak, ketika ada seseorang yang mau menikah, dilakukan consuling pranikah dan itu dilakukan tanpa melibatkan negara di dalamnya.

"Saya misalnya consuling pranikah sepekan lalu adik saya melakukannya 10 sesi namun gagal lalu diulang dari awal, itu terjadi tanpa melibatkan negara. Saya bingung juga kalau negara ikut campur, pakai nilai yang mana," ujarnya.

Menurut dia, dalam keluarga dan masyarakat Indonesia telah memiliki sistem pendukung sehingga dalam konteks keluarga lebih baik mempertahankan aturan yang sudah ada.

Baca juga: Peneliti: RUU ketahanan keluarga pertarungan wacana di ruang publik

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga jangan abaikan peran perempuan

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga dinilai kurang perhatikan fenomena sosial

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020