"Ibarat bermain bola, jangan main bertahan, melainkan harus menyerang. Jadikanlah ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan ekspor," kata Berly, Direktur Penelitian di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
Namun, ekspor yang dimaksud Berly dalam hal ini adalah investasi yang berorientasi ekspor mengingat komoditas ekspor Indonesia masih didominasi oleh barang mentah, seperti produk tambang dan pertanian, yang belum mempunyai nilai tambah.
"Dengan prioritas diplomasi ekonomi oleh Presiden Joko Widodo, kalau kita lihat negara-negara Asia Timur, motor pembangunan mereka adalah export-oriented manufacture," kata Berly.
Di satu sisi, target peningkatan ekspor ini kemungkinan besar akan menciptakan suatu pola "kalah-menang", yang di dalamnya kemungkinan terdapat sebagian kelompok usaha yang harus tutup akibat tidak dapat bersaing.
"Dalam ekonomi, semakin banyak kerja sama atau terbukanya pasar akan terjadi spesialisasi. Jadi, memang akan ada perusahaan yang tutup, dan harus dipikirkan bagaimana mereka yang tutup dapat berpindah ke perusahaan yang kompetitif untuk tujuan ekspor," ujar dia.
Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan juga mempersiapkan perlindungan sosial sebagai antisipasi atas kemungkinan tenaga kerja yang terdampak penutupan usaha, misalnya dengan menyediakan jaminan sosial ketenagakerjaan serta pelatihan.
Baca juga: RCEP ditandatangani, blok dagang yang didukung China kecualikan AS
Baca juga: Presiden Jokowi: Implementasi RCEP butuh komitmen politik tinggi
Baca juga: Pengamat: Permudah proses berbisnis untuk ambil peluang ekonomi RCEP
Halau tren negatif global, Presiden fokus perkuat FTA dan RCEP
Pewarta: Suwanti
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020