Program JKN-KIS yang sudah berjalan selama enam tahun sejak 2014 telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia. Meski penyelenggaraan JKN pada awal pembentukan hingga kini masih terdapat berbagai tantangan dan permasalahan, namun perbaikan demi perbaikan dilakukan oleh para pemangku kepentingan seiring diterbitkannya berbagai kebijakan yang bertujuan memperkuat asuransi kesehatan sosial di Indonesia ini.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio dalam diskusi mengenai JKN beberapa waktu lalu menilai program JKN-KIS yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan mulai menunjukkan perbaikan dalam pengelolaannya yang berimplikasi pada peningkatan kualitas program.
Agus menilai BPJS Kesehatan yang sudah tidak lagi memiliki tunggakan biaya klaim pada rumah sakit merupakan salah satu indikator membaiknya penyelenggaraan asuransi kesehatan sosial tersebut. Seperti diketahui pada tahun-tahun sebelumnya BPJS Kesehatan kerap menunggak pembayaran klaim pada rumah sakit dikarenakan masalah dana jaminan sosial kesehatan yang defisit.
Menurut Agus, titik balik perbaikan ekosistem JKN ini berawal dari diterbitkannya Perpres 64 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menurutnya menjadi perbaikan secara menyeluruh dari seluruh ekosistem yang terlibat.
“Titik baliknya menurut saya ada di Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dilihat dari sisi kebijakan,” kata Agus. Menurutnya Perpres tersebut membenahi ekosistem JKN-KIS secara menyeluruh baik dari sisi manajemen data, pembenahan fasilitas layanan kesehatan, penyesuaian iuran, serta regulasi-regulasi terkait standar pelayanan kesehatan dan tindakan medis yang selama ini belum ada, hingga pencegahan potensi fraud atau kecurangan.
Agus menyebutkan bahwa Program JKN-KIS merupakan program asuransi kesehatan sosial yang dinilai hebat lantaran memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia dengan jaminan kesehatan pada hampir seluruh penyakit.
"JKN-KIS merupakan program jaminan sosial yang hebat yang harus didukung oleh pendanaan dari pemerintah. Jarang sekali ada negara yang mau membiayai orang sakit dengan diobati sampai sembuh," kata dia.
Hingga saat ini sekitar 220 juta penduduk Indonesia sudah tercakup dalam program JKN-KIS atau sekitar 80 persen dari total penduduk Indonesia sudah terlindungi kesehatannya melalui JKN-KIS. Namun, yang perlu ditekankan adalah capaian JKN bukan hanya soal kuantitas melainkan juga kualitas yang harus bermutu dan berkeadilan.
Saat ini Kementerian Kesehatan bersama lembaga terkait yang terlibat dalam pelaksanana JKN tengah menggodok standar pelayanan kesehatan dan tindakan medis yang sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan pasien atau Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Tujuan dibuatnya PNPK ini sebagai acuan para tenaga kesehatan di rumah sakit dalam menangani pasien dan melakukan tindakan medis.
Baca juga: Tepuk tangan 56 detik digaungkan hormati pahlawan COVID-19
Baca juga: Menjaga keberlangsungan JKN-KIS guna penuhi hak kesehatan warga negara
Keterlibatan KPK
Harapannya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter kepada pasien hanya yang diperlukan berdasarkan kebutuhan dasar pasien sehingga tidak perlu melakukan tindakan berlebihan yang dapat merugikan kondisi kesehatan pasien dan juga memperbesar biaya klaim pelayanan kesehatan.
Tingginya angka klaim pembiayaan kesehatan ini menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bersama dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan melakukan kajian di sejumlah daerah untuk mengetahui seberapa besar potensi terjadinya kecurangan atau fraud dalam penyelenggaraan JKN-KIS.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPK bersama dengan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan pada tahun 2018-2019, terdapat beberapa hal yang dinilai bisa menyebabkan tingginya pembiayaan program JKN-KIS.
Kasatgas Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK Kunto Ariawan menjelaskan sejumlah hal yang disorot sebagai penyebab tingginya klaim biaya adalah tidak ada pembatasan penyakit katastropik yang berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat, tidak lengkapnya standar pelayanan PNPK atau Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran sehingga sulit melakukan audit pada tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan secara berlebihan, kelas rumah sakit yang tidak sesuai dengan kelas sebenarnya, serta terjadi prosedur yang tidak sesuai dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Kunto menyebutkan prosedur pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa indikasi yang jelas seperti terlihat pada pelayanan operasi katarak, fisioterapi, tendensi operasi caesar bisa terjadi dikarenakan tidak ada standar PNPK terhadap suatu tindakan medis.
KPK bersama dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan melakukan piloting untuk mengetahui sejauh mana suatu tindak kecurangan dapat dilakukan pada program JKN-KIS. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan utilisasi layanan operasi katarak pada 2014-2017 terdapat 914 kasus dengan total biaya mencapai Rp6,16 triliun.
KPK juga menemukan indikasi pelayanan kesehatan yang tidak dibutuhkan serta pemisahan layanan menjadi dua kali tindakan seperti operasi katarak dilakukan dua kali pada satu pasien.
Selain itu KPK juga menemukan utilisasi pelayanan fisioterapi melebihi rekomendasi dari Perdosri yaitu paling banyak delapan kali hingga 12 kali. Namun, di lapangan ditemukan pelayanan fisioterapi dilakukan lebih dari standar tersebut.
Selanjutnya KPK juga menemukan data kredensialing memperlihatkan sekitar 68 persen rumah sakit kelas A hingga D tidak memenuhi SDM sesuai Permenkes 56/2014. Kunto menyebut ada indikasi fraud berupa gratifikasi atau penyuapan dalam proses penetapan kelas oleh pemangku kepentingan.
Baca juga: Produsen minta obat produksi dalam negeri masuk dalam sistem JKN
Baca juga: Warga Sukabumi tidak khawatirkan biaya berobat karena miliki JKN-KIS
Layanan terstandar
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mutaqqien menyebutkan ke depannya kelas rawat inap peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) akan disamakan dalam standar yang sama dan besaran iuran akan kembali diatur ulang untuk menyesuaikan dengan pelayanan yang akan didapatkan.
Mutaqqien menerangkan pemerintah akan menghilangkan status kelas perawatan di rumah sakit bagi peserta JKN-KIS dan menggantinya menjadi satu layanan terstandar yang disesuaikan dengan manfaat medis, kebutuhan dasar kesehatan, dan manfaat nonmedis atau akomodasi.
"Kita mencoba menghilangkan kastanisasi, menjalankan amanah undang-undang bahwa setiap penduduk mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama," kata Mutaqqien.
DJSN bersama BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan telah membuat ketentuan mengenai standar ruang rawat inap untuk peserta JKN-KIS yang akan diterapkan di rumah sakit. Seiring pelayanan kesehatan untuk rawat inap yang akan menjadi satu atau tanpa kelas, Mutaqqien menyebutkan besaran iuran program JKN-KIS kemudian akan disesuaikan dengan pelayanan yang didapatkan.
Jika sebelumnya peserta JKN-KIS terbagi menjadi peserta kelas rawat III, peserta kelas rawat II, dan peserta kelas rawat I untuk segmentasi peserta yang berbeda, ke depannya besaran iuran akan menjadi satu tarif.
"Jadi dengan manfaat yang berubah ini maka akan mengubah keberlanjutan program JKN, bagaimana kecukupan dana JKN. Selanjutnya akan muncul bagaimana tarif dari program JKN," kata Mutaqqien.
Terlepas dari itu, ketentuan iuran program JKN dipastikan akan berkeadilan bagi peserta dan juga bagi penyelenggara. Iuran harusnya sama dengan biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan sehingga tidak terjadi defisit dalam keuangan penyelenggara program seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah agaknya masih mengkaji mengenai besaran iuran baru yang akan ditetapkan dengan disesuaikan layanan konsep kelas rawat inap terstandar yang juga akan diimplementasikan selanjutnya.*
Baca juga: JKN-KIS bantu ringankan beban penderita jantung
Baca juga: Peserta JKN-KIS: Biaya iuran sangat terjangkau dibanding pengobatan
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020