Target itu, lanjut Doli, dibuat agar RUU Pemilu bisa diimplementasikan pada gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2022.
"Kami di Komisi II berharap sebetulnya bisa selesai paling cepat mungkin di pertengahan 2021. Sehingga kalau memang kita sepakati nanti ada normalisasi terkait Pilkada 2022 itu sudah bisa dilaksanakan, dan terus jalan 2023, 2024," kata Doli dalam rapat dengar pendapat (RDP) Badan Legislasi DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin.
Doli meminta kepada pimpinan dan anggota Baleg DPR RI bisa menyepakati usulan RUU Pemilu itu dibawa Komisi II DPR RI dalam rapat paripurna berikutnya di masa persidangan II tahun sidang 2020 – 2021.
Baca juga: Pimpinan Baleg ingin peserta ASN harus mundur 2 tahun sebelum Pemilu
Lebih lanjut, Doli menjelaskan bahwa Komisi II DPR RI mengatakan RUU Pemilu akan membahas soal normalisasi jadwal penyelenggaraan pemilu daerah sehingga dapat terlaksana serentak di tahun 2027.
"Pelaksanaan pilkada serentak yang sedang berlangsung sekarang dinormalkan, istilah kami. Jadi 2015-2020, 2017-2022, 2018-2023, dan nanti kalau mau serentak nasional, itu dilaksanakan di 2027 di antara dua pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) 2024-2029," kata Doli.
Kedua, kata politisi Partai Golkar itu, di RUU Pemilu, mereka akan membahas tentang digitalisasi pemilu. Doli mengatakan aturan mengenai digitalisasi pemilu itu harus dipersiapkan untuk memudahkan pemilih melaksanakan hak pilihnya menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi ke depan.
"Kami ingin mengkaji lebih dalam pelaksanaan elektronisasi atau digitalisasi di setiap tahapan pemilu," kata Doli.
Uji coba tahapan digitalisasi pemilu itu sudah mulai dilakukan pada Pilkada Serentak 2020. Namun, kata Doli, Komisi II DPR RI untuk saat ini baru bisa menyepakati usulan penggunaan rekapitulasi elektronik (e-rekap) dibandingkan dengan penggunaan pemungutan suara elektronik (e-voting).
Baca juga: DPR: Besaran "parliamentary threshold" masih jadi perdebatan alot
Alasannya, karena e-voting di sejumlah negara maju masih perlu pengembangan pada cara mengantisipasi kecurangan penginputan suara pemilih.
Kendati demikian, menurut Doli, RUU Pemilu harus mengarah ke digitalisasi tersebut. Karena kalau tidak dibuat regulasi mulai dari sekarang, kita tidak akan tahu di mana letak kekurangannya.
Ketiga, di RUU Pemilu, DPR RI akan membahas pasal-pasal yang dapat membatasi terjadinya risiko moral pemilu, seperti politik uang, transaksi politik, dan lain-lain.
Keempat, kata Doli, RUU Pemilu juga akan mempertegas tugas pokok dan fungsi lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu agar tidak terjadi tumpang-tindih (overlapping) kewenangan dan menjaga integritas ketiga lembaga tersebut.
Doli mengatakan Komisi II DPR RI telah berkaca dari kasus pemberhentian salah satu anggota KPU oleh DKPP yang sudah dikeluarkan Keputusan Presiden-nya, namun dianulir setelah anggota KPU tersebut menggugat pemberhentian itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Baca juga: DPR: 22 pasal dalam RUU Pemilu masih jadi perdebatan
Lebih lanjut, ada juga anggota KPU RI yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya kira kasus-kasus seperti ini kontraproduktif terhadap pengembangan demokrasi kita. Oleh karena itu, kami harus mengatur betul, termasuk bagaimana menjaga integritas dari lembaga penyelenggara pemilu," kata Doli.
Doli menilai untuk mempersiapkan regulasi yang menjaga integritas lembaga tersebut, DPR RI harus memulai pembahasan dari mulai proses rekrutmen lembaga, sehingga orang yang terpilih bukan hanya profesional, tapi juga memiliki integritas.
Kelima, kata Doli, RUU Pemilu juga akan membahas tentang keterwakilan perempuan. Keenam soal posisi aparatur sipil negara, TNI, dan Polri. Ketujuh terkait anggota legislatif yang maju menjadi peserta pilkada/pemilu.
"Nah ini adalah isu-isu yang saya kira perubahan-perubahannya nanti juga akan kita bahas dalam rancangan undang-undang ini," kata Doli.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020