Peneliti Pusat Studi Kebijakan Indonesia (Center for Indonesian Policy Studies/CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan penanganan peredaran alkohol ilegal membutuhkan reformasi regulasi.
Tidak hanya itu, kata Pingkan dalam rilis yang diterima di Jakarta, Selasa, penanganan alkohol ilegal itu memerlukan upaya komprehensif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar benar-benar efektif menekan dampak kesehatan yang merugikan dan angka kematian karena peredaran alkohol ilegal.
Ia menyebutkan jenis-jenis minuman beralkohol yang termasuk ke dalam alkohol ilegal ini ada empat, yaitu alkohol selundupan, alkohol palsu, alkohol substitusi, dan alkohol oplosan.
Semua jenis alkohol ini, kata dia, dibuat dan diedarkan secara tidak resmi atau tidak tercatat oleh Negara. Bahan-bahan yang digunakan pun tidak dapat dipastikan keamanannya. Hal-hal inilah yang membuat konsumsi alkohol ilegal menjadi jauh lebih berbahaya daripada alkohol legal atau yang resmi tercatat dan diawasi oleh Negara.
Ia menilai peraturan pusat dan daerah mengenai minuman beralkohol yang sudah ada sejauh ini hanya dapat mencegah orang untuk minum alkohol legal berdasarkan alasan kesehatan masyarakat, kebudayaan, dan keagamaan.
Baca juga: Bea Cukai Denpasar musnahkan barang ilegal senilai Rp1,977 miliar
Namun, peraturan pelarangan tersebut justru membawa konsekuensi negatif, yaitu mengalihkan konsumen alkohol legal ke alkohol ilegal.
Ketika akses terhadap alkohol legal dibatasi, menurut dia, konsumen beralih ke opsi yang ilegal. Hasil penelitiannya menunjukkan alasan utama penyebaran alkohol ilegal adalah karena kelompok masyarakat berpendapatan rendah tidak dapat mengakses alkohol legal karena harga retail yang tinggi dan ketersediaan yang terbatas di toko-toko.
"Hasil penelitian CIPS pada tahun 2016 juga mengonfirmasi bahwa harga yang lebih murah dan akses yang lebih mudah adalah alasan utama orang mengonsumsi alkohol oplosan," kata Pingkan.
Untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi alkohol ilegal, baik dampak kepada kesehatan maupun kematian, CIPS merekomendasikan kepada pemerintah untuk untuk merelaksasi pembatasan akses terhadap alkohol legal karena konsumsi alkohol ilegal menimbulkan risiko yang tidak terukur terhadap masyarakat. Bahkan, menyebabkan dampak serius pada kesehatan serta memunculkan distribusi terselubung melalui pasar gelap.
Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 158 Tahun 2018, menurut Pingka, juga perlu direvisi untuk menurunkan tarif cukai alkohol seluruh kategori.
Selain itu, pemerintah sebaiknya juga membuka akses terhadap alkohol lokal yang harganya terjangkau dan memberikan masyarakat opsi yang lebih murah dan aman serta dapat dimonitor lebih mudah, sekaligus mendukung sektor pariwisata dan industri lokal.
Baca juga: Ribuan rokok-minuman beralkohol dimusnahkan Bea Cukai
Kendati demikian, lanjut dia, terdapat sejumlah hal yang perlu dievaluasi, yaitu penegakan hukum untuk membatasi akses usia minimal untuk mengonsumsi alkohol. Penegakan hukum perlu diperketat guna mencegah konsumsi alkohol oleh anak-anak di bawah umur.
Dengan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013, Permendag Nomor 06 Tahun 2015, dan peraturan-peraturan daerah yang melarang penjualan alkohol legal, toko-toko berizin, seperti minimarket dan toserba, dapat menyediakan akses ke alkohol legal, setidaknya untuk kategori dengan kadar alkohol terendah.
Saat ini hanya supermarket dan hypermarket saja yang diperbolehkan menjual minuman beralkohol Kategori A. Akan tetapi, konsumen juga harus membuktikan bahwa mereka secara legal diizinkan untuk membeli alkohol dan pelanggaran akan berakibat pada peninjauan kembali atas izin usaha.
Pembuktian ini dapat dilakukan dengan menunjukkan kartu identitas yang sah dan masih berlaku. Selain itu, denda untuk pelanggaran ringan harus dinaikkan sesuai dengan peraturan daerah.
"Denda karena menjual alkohol ilegal setidaknya harus setara dengan keuntungan rata-rata yang didapatkan penjual dengan menjual alkohol ilegal tersebut," katanya.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020