"Kita lihat dalam kasus terakhir ini terjadinya kerumunan dalam jumlah besar di tengah COVID-19, pemerintah tidak bisa mengambil tindakan tegas, penegakan hukum tidak jalan," kata dia di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Pengamat sarankan penanaman toleransi melalui pendekatan sosial budaya
Malah yang terjadi ialah pejabat-pejabat pemerintah diinterogasi bahkan dipecat. Hal itu dinilainya tidak proporsional. Jika negara mengedepankan toleransi maka tidak akan ada penindakan yang pandang bulu.
"Kalau kita menegakkan hukum dengan benar maka kemudian akan ada balasan dari kelompok agama tersebut," ujar eks Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Baca juga: Peringati Maulid, Muhammadiyah dorong toleransi kehidupan berbangsa
Meskipun demikian, Prof Azyumardi menilai secara umum kehidupan beragama, toleransi dan harmonisasi di Indonesia masih tergolong kuat.
Bahkan, jika dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki suatu kekuatan kebinekaan yang sama sekali tidak dimiliki negara lain yakni majelis agama.
Baca juga: Wapres harap pesantren berperan penting hadapi tantangan global Islam
Keberadaan majelis agama di Indonesia berperan besar dalam membangun kerukunan misalnya dialog antarumat beragama, dialog intra agama hingga dialog antara pemuka agama dengan pemerintah.
"Dialog ini mesti diintensifkan karena beberapa waktu terakhir masih kurang," kata akademisi yang pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat itu.
Bahkan, peranan majelis-majelis agama di Indonesia selama pandemi COVID-19 besar sekali terutama dalam upaya penanganan dan pencegahan penularan virus.
Terakhir, ia meminta pemerintah agar memaksimalkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sebab, jangan sampai keberadaan organisasi tersebut hanya sebatas ketika ada persoalan saja.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2020