Ayo berkebun dengan mudah dan sembuhkan Bumi!

2 Desember 2020 09:53 WIB
Ayo berkebun dengan mudah dan sembuhkan Bumi!
Tangkapan layar - Praktisi urban farming Sita Pujianto dari Jakarta ketika tampil dalam webinar Citigrower’s Urban Farming Series, Sabtu (29/11/2020). ANTARA/Kliwon

Sungguh mubazir

Berkebun adalah salah satu teknologi tertua yang ditemukan nenek moyang bangsa Indonesia untuk bertahan hidup.

Masyarakat bisa memulainya dengan cara sederhana. Tanamlah dengan tanah!

Jangan membayangkan yang rumit ketika berkebun karena semua orang secara alami punya green thumb (tangan dingin). Tinggal dilatih untuk menanam dan langsung dipraktikkan di rumah.

Teknologi urban farming atau berkebun urban, menurut peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, sudah sangat berkembang, mulai dari yang populer, seperti hidroponik dengan media air, akuaponik, aeroponik, bahkan sampai indoor farming atau berkebun di ruang tertutup.

Namun, bagi pemula, mulailah dengan cara yang paling sederhana. Menanam dengan tanah dan/atau di tanah dengan cara yang sehat serta natural.

Mengapa memulai dengan tanah? Selain lebih simpel, kata Dian Armanda, menanam di tanah yang "kotor" itu juga sehat. Pada tanah subur, ada miliaran organisme, termasuk mikrobia yang tidak hanya menyehatkan tanah dan tanaman, tetapi juga membantu menghasilkan panen pangan yang sehat bagi manusia.

Keragaman mikrobia pada tanah subur juga menyehatkan Bumi, membantu mengikat karbon dari atmosfer ke tanah, yang artinya membantu memulihkan dari global warming (pemanasan global).

Dengan menjaga tanah sehat, membantu menghentikan global warming karena tidak membajak dan tanpa pupuk dan pestisida kimia sintetis.

Peneliti urban farming (pertanian perkotaan) dan biologi lingkungan ini menjelaskan bahwa orang menanam berarti yang bersangkutan mengonservasi keanekaragaman biota tanah, baik organisme makro maupun mikroskopis.

Bila keanekaragaman biota ini terjaga, mereka mampu membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Sebagaimana diketahui bahwa karbon dioksida ini salah satu penyebab global warming.

"Biota-biota ini menggunakan karbon untuk kehidupan mereka sehingga alih-alih terlepas di udara, karbon tersimpan di tanah," kata pendiri bisnis rintisan CitiGrower ini.

Baca juga: Peneliti: Berkebun urban organik sembuhkan Bumi

Ia mengatakan sudah ada studi mengenai potensi serapan tanah subur pada karbon dioksida di udara. Dalam hal ini, tanah berpotensi mengikat karbon dari atmosfer hingga 4.000 gigaton, sedangkan total potensi serapan karbon oleh atmosfer sudah ditambah oleh tanaman sebesar 1.700 gigaton.

Maka, potensi tanah subur untuk membalikkan pemanasan global ini sangat besar. Dengan demikian, menanam secara alami menyehatkan bagi Bumi dan manusia.

Jangan Dibuat Rumit

Bagi yang baru mulai menanam, jangan merumitkan diri dengan target menanam untuk menjual hasil kebun atau komersial. Mulailah menanam untuk kebutuhan diri sendiri dan keluarga.

"Produksi pangan secukupnya dan olah seperlunya," kata Dian yang saat ini tengah menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences Leiden University, Belanda.

Data dari Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa food waste (sampah makanan) yang dihasilkan tiap orang Indonesia setiap tahun sudah mencapai 300 kilogram.

"Sungguh mubazir," ujar dia.

Ia membagikan tips berkebun di rumah. Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dijalankan, yakni tentukan terlebih dahulu tujuannya, observasi dan desain kebun, serta langsung praktik.

Pertama, temukan alasan dan motivasi pribadi dalam berkebun. Misalnya, untuk menghasilkan pangan yang cukup, memanfaatkan waktu, dan barang yang tersedia di rumah, menghasilkan uang, atau mungkin sekadar iseng-iseng belajar.

Kedua, melakukan observasi dan desain kebun.Tujuannya mengetahui dan mengenal potensi, tantangan, hambatan berkebun di rumah, lalu membuat rencana tanam.

Selanjutnya, melakukan pengamatan, ruang untuk bisa menanam. Bisa memanfaatkan halaman, teras, balkon, rooftop (atap), di tembok, di tangga, menggantung, terbuka, atau bahkan tertutup.

Observasi, kata Dian, juga terkait dengan orientasi Matahari dan angin, akses air, jenis dan kontur tanah, sampah, serta batas kebun dengan tetangga.

Setelah observasi, tentukan desain kebun yang ingin dibangun. Jenis tanaman yang cocok, jadwal tanam, elemen kebun (mau ada ternak atau kolam misalnya), struktur kebun, dan sebagainya. Terakhir dan yang terpenting adalah just do it! Lakukan dan terus belajar.

"Bahkan, kesalahan adalah guru yang baik untuk membantu mengasah green thumb. Kalau gagal, ingat kembali bahwa berkebun itu pada akhirnya menyenangkan maka jangan berhenti," kata Dian.

Baca juga: LIPI: Pertanian urban bisa jadi solusi masalah pangan semasa pandemi

Tomi, pemilik Okebunku Solo, yang baru beberapa bulan memulai berkebun di pekarangan rumahnya saat datang pandemi Coronavirus Disease-2019 memberikan testimoni.

Tomi menanam sekaligus memanen berbagai jenis sayur dan buah di kebunnya. Dia yang belajar berkebun dari nol menekankan pentingnya untuk terus mencoba dan belajar dalam bercocok tanam.

"Itu kuncinya," kata dia dalam video ditayangkan dalam webinar yang diselenggarakan oleh bisnis rintisan CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital.

Murah

Jelas berkebun murah karena modalnya gratis. Matahari, air, dan tanah tersedia melimpah di Tanah Air.

Kini, kata Dian Armanda, tinggal kemauan karena modal berkebun ada di sekitar lingkungan rumah.

Membuat kompos, misalnya, bisa memanfaatkan sampah dapur, kemudian barang bekas bisa menjadi wadah tanam dan alat tanam, lalu air hujan, bahkan grey water atau air limbah rumah tangga juga gratis. Dengan demikian, berkebun tidaklah sulit karena modalnya sudah ada di sekitar lingkungan rumah.

Berkebun juga menyenangkan. Ketika tanaman makin tumbuh subur, hati merasa senang, apalagi hasil kebun untuk kebutuhan rumah tangga akan sayuran. Tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayuran di pasar atau swalayan. Bahkan, kalau berlebih, bisa menjualnya ke pasar.

Praktisi urban farming Sita Pujianto dari Jakarta ketika tampil dalam webinar Citigrower’s Urban Farming Series, Sabtu (29/11), yang bertajuk "Berkebun Mudah, Murah, dan Menyenangkan; Mulai Darimana?" bercerita bahwa keluarganya mengonsumsi hasil kebunnya tiap hari.

Sita menyebutkan sejumlah tanaman yang mudah dan cepat panen, antara lain bayam dan kangkung 21 hari sampai dengan satu bulan sudah bisa dipanen; tanaman indigenous/perennial, seperti katuk, ginseng jawa, kelor, kenikir kemangi; dan herbs mint oregano rimpang-rimpangan, misalnya kunyit dan kencur.

Jika setiap rumah tangga memanfaatkan ruangan yang ada untuk berkebun urban organik, tidak hanya mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi juga akan memperkukuh ketahanan pangan bangsa Indonesia di tengah pandemi COVID-19.

Baca juga: Survei: Urban farming berprospek cerah dongkrak pendapatan masyarakat
Baca juga: Mentan dorong swasta jadi inisiator kembangkan pertanian perkotaan
Baca juga: Urban farming diminati warga Surabaya saat pandemi COVID-19

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020