• Beranda
  • Berita
  • Mengatasi bencana banjir dengan strategi mitigasi

Mengatasi bencana banjir dengan strategi mitigasi

4 Desember 2020 22:47 WIB
Mengatasi bencana banjir dengan strategi mitigasi
Banjir melanda sejumlah desa di Kecamatan Kemangkon, Purbalingga. (ANTARA/HO - BPBD Purbalingga)
Memasuki penghujung tahun, hujan deras makin sering turun. Suaranya riuh mengalun, airnya membasahi daun yang rimbun.

Begitu juga di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Hujan mengguyur sepanjang hari, menyisakan banjir yang mengakibatkan warga harus sementara mengungsi.

Menurut informasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purbalingga, hujan deras yang turun sejak Rabu (2/12) telah mengakibatkan Sungai Gringsing dan Sungai Klawing yang alirannya mengarah ke Sungai Serayu meluap.

Akibatnya ribuan rumah di delapan desa dari dua kecamatan yang ada di Purbalingga terendam banjir dengan ketinggian air sekitar 20 hingga 100 sentimeter.

Delapan desa tersebut antara lain Desa Gambarsari, Desa Jetis, Desa Toyareka, Desa Muntang, Desa Kalialang, Desa Sumilir dan Desa Karangtengah Kecamatan Kemangkon. Selain itu Desa Toyareja, Kecamatan Purbalingga.

Selain merendam ribuan rumah, genangan air banjir juga merendam area persawahan, bahkan 5.000 kilogram pupuk urea milik kelompok tani di Desa Gambarsari ikut terendam.

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purbalingga Umar Fauzi mengatakan pada saat kejadian bencana pihaknya telah langsung melakukan upaya evakuasi dan juga menyiapkan lokasi pengungsian.

Tim gabungan dari BPBD Purbalingga, TNI/Polri, relawan kebencanaan dan kemanusiaan, PMI, Baznas, Basarnas, Tagana dan unsur lain bahu membahu melakukan upaya tanggap darurat sejak Rabu (2/12) malam hingga Kamis (3/12).

"Sekitar Kamis sore banjir sudah mulai surut dan para warga yang sempat mengungsi akhirnya kembali pulang ke rumah masing-masing," katanya.

Baca juga: BNPB gelar TFG untuk mitigasi ancaman banjir Ibu Kota Jakarta

Baca juga: BNPB minta antisipasi fenomena La Nina dalam mitigasi erupsi Merapi


Hujan deras

Pakar Hidrologi dan Sumber Daya Air Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yanto, Ph.D mengatakan hujan deras yang terjadi di Purbalingga menjadi salah satu penyebab banjir yang melanda sejumlah desa di wilayah itu.

"Banjir di sejumlah desa di Kecamatan Kemangkon dan Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, disebabkan oleh dua faktor penting. Pertama, karena hujan deras yang terjadi di kawasan itu," katanya.

Dia mengatakan hujan deras dengan durasi yang lama dapat dikategorikan sebagai cuaca ekstrem yang dipengaruhi oleh faktor iklim yang bersifat global.

Menurutnya, hal ini terkait dengan fenomena perubahan iklim yang ditandai naiknya suhu muka bumi baik di daratan dan lautan. Di Indonesia, yang memiliki lautan yang luas dan berada di antara dua samudera, peningkatan suhu muka bumi telah menyebabkan perubahan pola iklim, yaitu meningkatnya besaran dan jumlah kejadian hujan ekstrem.

Sementara itu, faktor penyebab kedua, kata dia, adalah karena desa-desa yang terendam banjir memiliki topografi wilayah dengan kelandaian yang rendah atau bahkan datar.

Kondisi itu mengakibatkan luapan air Sungai Klawing dapat dengan mudah mengalir ke bantaran sungai bahkan hingga ke pemukiman warga.

Selain itu, topografi yang relatif datar juga membuat air hujan dari daerah-daerah di sekitar bantaran Sungai Klawing sulit mengalir pada saat debit sungai mendekati maksimal.

Dia menilai bahwa kombinasi hujan deras dan topografi wilayah merupakan dua penyebab utama terjadinya banjir sehingga masyarakat masih perlu mewaspadai kondisi cuaca ekstrem.

"Kondisi cuaca ekstrem dan perubahan iklim ini masih harus terus diwaspadai, bahwa kemungkinan tersebut dapat lebih tinggi. Upaya bersama antara banyak pihak sangat diperlukan sebagai upaya pengurangan risiko bencana," katanya.

Baca juga: BPB Linmas Surabaya siapkan mitigasi bencana di 15 kecamatan

Baca juga: Legislator: Mitigasi bencana ditingkatkan sesuai protokol kesehatan


Solusi banjir

Salah satu upaya yang harus dilakukan sebagai langkah awal pencegahan banjir, kata dia, adalah membuat peta rawan bencana hingga skala desa.

Untuk peta rawan banjir, menurut dia, bisa dilakukan dengan mendasarkan pada simulasi kejadian hujan ekstrem yang terjadi pada suatu wilayah hingga nantinya dapat dipergunakan sebagai materi dalam pengembangan sistem informasi bencana banjir.

Kendati sederhana, namun sistem informasi sangat bermanfaat secara luas terutama sebagai media untuk mengumumkan kemungkinan terjadinya banjir di daerah-daerah rawan kepada masyarakat yang ada di sekitar.

Dia juga menambahkan bahwa pemerintah daerah bisa saja bekerja sama dengan para peneliti dari universitas-universitas di wilayah sekitar untuk menggali masukan yang lebih banyak terkait solusi yang tepat dalam penanganan banjir.

Namun, upaya itu harus diimbangi juga dengan edukasi dan sosialisasi yang gencar kepada masyarakat guna meningkatkan pemahaman mengenai kondisi wilayah dan potensi-potensi bencana yang ada.

Misalkan, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai dengan topografi yang datar. Maka perlu diberikan pemahaman yang rinci mengenai potensi banjir di wilayah tempat tinggal mereka.

Selain edukasi kepada masyarakat, upaya mitigasi lain yang bisa dilakukan adalah membuat tanggul, terutama di lokasi sekitar bantaran sungai dengan elevasi yang rendah. Hal ini diperlukan untuk mencegah meluapnya air sungai ke area bantaran sungai.

"Tanggul sungai tidak harus dibuat dari beton, tetapi dapat juga dibuat dari timbunan tanah. Untuk mencegah erosi tebing tanggul, penanaman pepohonan seperti bambu juga dapat dilakukan sekaligus," katanya.

Bahkan, menurut dia, tanggul sungai yang ditanami bambu dan dikemas baik dapat berpotensi menjadi destinasi wisata baru yang dapat menarik minat wisatawan.

Baca juga: Saran akademisi, lakukan mitigasi longsor dengan penguatan lereng

Baca juga: Surabaya giatkan pembersihan saluran air di perkampungan


Simulasi daerah genangan

Dia juga menambahkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko penyebab banjir, namun sering kali banjir terjadi karena faktor alamiah dan faktor non-alamiah.

"Faktor alamiah adalah curah hujan dan kondisi topografi seperti yang kemarin terjadi di Purbalingga. Sementara faktor non-alamiah biasanya terjadi karena terkait dengan persoalan pengelolaan daerah aliran sungai," katanya.

Senada dengan pernyataan tersebut, akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati menambahkan curah hujan yang tinggi dengan durasi yang lama bisa memicu terjadinya banjir.

Koordinator Bidang Bencana Geologi Pusat Mitigasi Unsoed itu menjelaskan potensi terjadinya genangan akan semakin tinggi pada area dengan topografi cekung dan dataran yang dekat sungai. Wilayah dengan karakteristik seperti itu berpotensi menampung air yang berlimpah dari curah hujan yang tinggi.

Dalam kondisi seperti itu upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah melakukan rekayasa daerah aliran sungai, salah satunya dengan cara normalisasi sungai.

Selain itu pembuatan sumur resapan dan pembuatan embung pengendali banjir juga bisa menjadi solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir faktor risiko penyebab banjir.

Masyarakat dapat berperan aktif dalam rangka mengurangi potensi banjir dengan melakukan pembersihan saluran-saluran air di sekitar rumah, mengecek bendungan-bendungan alam bagi yang mempunyai rumah di hulu sungai, membuat sumur-sumur resapan serta kolam-kolam pengendali air.

Sementara untuk solusi jangka panjang, langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membuat rancangan besar mitigasi secara komprehensif melalui konsep daerah aliran sungai.

Salah satu contohnya adalah dengan membuat simulasi daerah genangan di wilayah rawan banjir sehingga penanganan di tiap lokasi bisa ditentukan secara tepat.

Dari narasi mengenai banjir di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa bencana banjir bisa terjadi karena berbagai faktor.

Namun, yang sering terjadi adalah disebabkan faktor alamiah yaitu karena kondisi cuaca ekstrem atau hujan deras serta karena kondisi topografi wilayah.

Selain itu banjir juga bisa disebabkan karena faktor non-alamiah seperti pengelolaan daerah aliran sungai yang masih harus terus dioptimalkan.

Dengan mengetahui faktor risiko penyebab banjir maka diharapkan akan makin meningkatkan kewaspadaan dan pemahaman masyarakat guna mendukung upaya strategi mitigasi bencana.*

Baca juga: Perkuat mitigasi, kurangi dampak banjir saat pandemi COVID-19

Baca juga: BMKG: Pencegahan banjir sebaiknya sedari kemarau

Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020