Sebuah pelajaran dari Taiwan

6 Desember 2020 09:32 WIB
Sebuah pelajaran dari Taiwan
Dokumentasi - Kaum perempuan pekerja migran shalat Idul Adha di Taipei Travel Plaza, taman terbuka di kawasan Taipei Main Station, Taiwan, Jumat (31/7/2020). ANTARA/HO-PCINU Taiwan/mii.
Senin, 30 November 2020, laman utama kantor berita Taiwan CNA menurunkan laporan tentang ditagguhkannya sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI).

Tidak terlalu mengejutkan karena sehari sebelumnya penulis sudah mendapatkan informasi mengenai rencana pertemuan otoritas terkait untuk merespons beberapa kasus positif COVID-19 di Indonesia.

Tidak mengejutkannya lagi, otoritas Taiwan sebelumnya menolak PMI dari empat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), yakni PT Sentosa Karya Aditama, PT Vita Melati Indonesia, PT Ekoristis Berkarya, dan PT Graha Ayukarsa.

Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei (TETO) dalam siaran persnya di Jakarta pada 19 November menyampaikan alasan larangan tersebut karena 28 orang PMI yang memasuki Taiwan dalam sebulan terakhir hasil tesnya menunjukkan positif COVID-19.

Baca juga: Pemerintah sayangkan keputusan Taiwan tangguhkan penerimaan PMI
Baca juga: Taiwan tolak sementara pekerja migran dari Indonesia


Tentu hal ini bukanlah "kecelakaan" biasa karena Taiwan juga sedang gencar-gencarnya memutus mata rantai penyebaran virus yang menyerang saluran pernapasan atas itu dengan berbagai kebijakan, seperti pengenaan denda sebesar 3.000-15.000 NTD (Rp1,5 juta-Rp7,5) juta terhadap pelaku pelanggaran penggunaan masker di tempat-tempat umum dan kewajiban karantina 14 hari bagi pendatang.

Ditemukannya kasus positif pada para PMI berdasarkan tes usap setibanya di Bandara Taiwan itu lebih mengindikasikan pada sebuah kelalaian.

Kelalaian? Ya, karena memang tes usap dengan metode PCR atau pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus sebelum seseorang bepergian ke luar negeri itu kewajibannya bersifat mutlak, bukan sekadar formalitas belaka.

Sekadar gambaran, untuk seseorang, siapa pun dia dan apa pun jabatannya, wajib tes usap 48 jam sebelum terbang ke China. Aturan tersebut berubah makin ketat karena sebelumnya sampai lima hari, kemudian 72 jam, dan terakhir 48 jam.

Sesampainya di bandara tujuan di China, siapa pun yang baru datang dari negara lain wajib tes usap lagi. Bukan tidak percaya dengan hasil tes usap yang sudah dilakukan di Indonesia atau di negara lain, akan tetapi seseorang bisa saja tertular COVID-19 setelah menjalani tes atau beberapa jam sebelum terbang atau bisa juga selama dalam penerbangan. Tes usap di bandara tujuan tersebut juga diterapkan di Taiwan sebagai upaya melindungi warganya dari kasus impor seperti itu.

Inilah yang dimaksud sebagai kewajiban mutlak bagi para pelancong , termasuk PMI, bukan sekadar formalitas hitam di atas putih. Oleh sebab itu, protokol kesehatan harus dijalankan dengan penuh disiplin tanpa toleransi sedikit pun.

Mengabaikan protokol kesehatan sangat berisiko dan berdampak negatif karena mempertaruhkan reputasi sebagai penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan kepada sekelompok masyarakat yang hanya bisa menafkahi keluarganya di tengah kesulitan ekonomi saat pandemi seperti sekarang dengan mengadu nasib di negeri seberang.

Penolakan Taiwan terhadap PMI, meskipun hanya berlangsung sementara selama dua pekan hingga 17 Desember, tidak hanya berdampak pada angka 20 atau 28 PMI yang positif saja atau mungkin 939 PMI yang saat ini sedang menjalani karantina di Taiwan.

Ada 1.350 orang calon PMI yang gagal berangkat dan bekerja ke Taiwan akibat kebijakan yang mulai berlaku per 4 Desember 2020 itu.

Saat ini gaji pokok bulanan PMI Taiwan sektor informal sebesar 17.000 NTD (Rp8,5 juta) dan formal 23.800 NT (Rp11,9 juta) dipotong fee agensi dan asuransi sebesar 1.500 NTD (Rp752 ribu).

Kalau seorang PMI bisa menghasilkan 15.000 NTD saja lalu dikalikan 1.350 orang calon PMI yang gagal berangkat, maka sudah 20.250.000 NTD atau sekitar Rp10,15 miliar devisa negara yang melayang hanya gara-gara keteledoran prosedur.

Itu baru angka minimal yang dihasilkan dari keringat PMI sektor informal, seperti pembantu rumah tangga dan pengasuh orang tua. Belum pada sektor formal yang pangsanya 40 persen dari keseluruhan PMI di Taiwan.

Berhenti Menyalahkan
Tingginya kasus COVID-19 di Indonesia dalam beberapa hari terakhir ditambah lagi kasus positif pada 28 orang PMI yang baru tiba di Taiwan merupakan salah satu faktor pemicu penangguhan tersebut.

Ada satu faktor lainnya yang tak kalah pentingnya dibandingkan COVID-19 adalah tidak ditanggapinya permintaan otoritas Taiwan secara tertulis pada 26 Agustus 2020 kepada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MPI) agar mengklarifikasi pernyataan tentang PMI tidak boleh dibebani dengan biaya penempatan yang mencakup tiket keberangkatan-kepulangan, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, sertifikat kompetensi kerja, jasa perusahaan, penggantian paspor, dan lain-lain.

Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan (MOL) merasa perlu diajak bicara mengenai hal itu karena menyangkut warganya yang mempekerjakan lebih 250 ribu orang PMI.

Namun cinta ternyata bertepuk sebelah tangan. Entah karena prinsip One China Policy atau ada alasan lain, surat tersebut tak berbalas.

Ujung-ujungnya Taiwan mempersiapkan berbagai langkah, di antaranya mencari pekerja migran dari negara lain.

Rupanya langkah MOL tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari parlemen setempat setelah Menteri Ketenagakerjaan Taiwan Hsu Mingcun bertemu dengan Komisi Kesehatan Lingkungan dan Kesejahteraan Sosial Legislatif Yuan atau semacam DPR-nya Taiwan di Taipei pada 2 Desember.

Sedang berusaha merekrut pekerja migran dari Asia Tenggara yang belum pernah mengirimkan tenaga kerja ke sini, demikian pernyataan Hsu tanpa menyebutkan nama negara calon mitra barunya yang akan menandatangani MoU pada 2021 itu.

Kebijakan terbaru Taiwan ini tentu dampaknya luar biasa bagi Indonesia yang bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, kepercayaan Taiwan terhadap Indonesia sudah mulai berkurang. Bukan saja terkait COVID-19, melainkan juga kebijakan pembebasan biaya penempatan yang dianggap sepihak oleh Taiwan. Hal itu juga dapat menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan para majikan yang mempekerjakan PMI baru.

Kedua, posisi Indonesia sebagai pemasok terbesar pekerja migran di Taiwan terancam. Hingga Oktober 2020, Taiwan mempekerjakan 264.984 orang PMI atau 37,79 persen. Disusul Vietnam, Filipina, dan Thailand yang masing-masing hanya 32,58 persen, 21,54 persen, dan 8,09 persen.

Ketiga, berkurangnya penerimaan devisa dari para PMI di Taiwan. Hal ini tentu makin menyulitkan upaya pemerintah dalam memulihkan ekonomi nasional, apalagi data Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi PMI hingga semester pertama tahun 2020 hanya 4,8 miliar dolar AS, menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang mencapai 5,7 miliar dolar AS.

Dan keempat, menciptakan pengangguran baru dan menambah angka kemiskinan karena kebanyakan PMI berasal dari daerah-daerah nonproduktif di selatan Pulau Jawa. Bahkan, untuk menyambung hidup, mereka harus bekerja ke luar negeri, termasuk Taiwan yang permintaan pekerja migrannya dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sebelum penangguhan terdapat rata-rata 677 orang PMI masuk ke Taiwan.

Namun, kebijakan penangguhan tersebut bukan akhir dari segalanya, meskipun baru terjadi yang pertama kalinya dalam kurun hampir dua dasawarsa terakhir. Pemangku kepentingan di Indonesia setidaknya harus memperhatikan beberapa hal sehingga mampu melewati krisis ini.

Pertama, koordinasi antara Kementerian Tenaga Kerja RI dan BP2MI harus segera ditingkatkan agar tanggung jawab dan kebijakan terkait pengiriman, penempatan, dan perlindungan PMI tidak saling tumpang-tindih.

Kedua, memperkuat pengawasan terhadap pola pelatihan, pembinaan, prosedur pengiriman, dan penempatan calon PMI oleh P3MI agar lebih terarah dan prosedural. Pengawasan ini sekaligus memberikan jaminan kepada maskapai penerbangan, baik dalam negeri maupun asing, yang hendak mengangkut para PMI ke negara/wilayah tujuan.

Ketiga, memulihkan jalinan komunikasi dengan otoritas Taiwan yang sempat buntu untuk membangun lagi kepercayaan karena selama ini kinerja PMI sangat memuaskan para majikan di Taiwan daripada para pekerja migran dari negara lain. Oleh karena itulah, pekerja migran dari Indonesia selalu unggul secara kualitas dan kuantitas dibandingkan para kompetitornya dari negara lain.

Dan yang terakhir adalah dengan meningkatkan pemberdayaan para purna-PMI agar sepulangnya di kampung halaman tidak terdorong keinginan untuk kembali lagi bekerja ke negara/wilayah lain.

Pemerintah Taiwan melalui Global Workers' Organization (GWO) sangat aktif dalam enam tahun terakhir membekali berbagai jenis pelatihan keterampilan kepada para PMI agar bisa mandiri secara ekonomi saat pulang ke Tanah Air kelak.

Dengan pola pemberdayaan yang lebih terukur dan terarah, maka para purna-PMI bisa hidup lebih tenang di desanya dengan menjadi wirausahawan yang pada gilirannya juga bisa membuka lapangan kerja baru.

Apalagi, tidak sedikit di antara para PMI sektor formal bekerja di berbagai bidang industri yang lebih maju dan canggih di Taiwan sehingga sudah saatnya mereka mentransfer pengetahuan dan pengalamannya untuk kemajuan bangsa Indonesia. 

Baca juga: Pemerintah harap Taiwan segera cabut penangguhan penerimaan PMI
Baca juga: BP2MI: 85 pekerja migran Indonesia di Taiwan positif COVID-19

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020