Tulisan itu merujuk pada dua makna substansi pernyataan dan pesan Presiden Joko Widodo untuk lembaga pemerintah dan aparat penegak hukum, ketika membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah pada Senin 15 Juni 2020.
Makna pertama, kepada lembaga dan aparatur pemerintah yang mengelola anggaran Presiden Jokowi menegaskan, bahwa pemerintah tidak main-main dalam hal akuntabilitas. Pencegahan harus diutamakan. Tata kelola yang baik harus didahulukan.
Tapi kalau ada yang masih bandel, kalau ada niat untuk korupsi, ada mens rea (niat), maka silakan bapak ibu, “digigit” dengan keras. Uang negara harus diselamatkan kepercayaan rakyat harus kita jaga.
Baca juga: Presiden Jokowi: Silakan penegak hukum "gigit" yang berniat korupsi
Makna kedua, dalam pertemuan yang sama, Presiden Jokowi juga meminta agar lembaga hukum negara, Polri, KPK, Kejaksaan tidak menangkap dan menghukum orang yang tak bersalah.
"Tugas para penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, KPK, penyidik pegawai negeri sipil, adalah menegakkan hukum. Tapi saya ingatkan, jangan 'menggigit' orang yang tidak salah. Jangan 'menggigit' yang tidak ada mens rea, dan jangan tebarkan ketakutan pada pelaksana dalam melaksanakan tugasnya," tegas Jokowi.
Negara, Pemerintah, Penegak hukum dan kita semua sedang menghadapi wabah COVID-19 bersama-sama. Dana yang dipersiapkan sangat luar biasa besarnya, yang terkait pengelolaan dana percepatan penanganan COVID-19 mencapai Rp 677,2 triliun.
Akhirnya ada yang “digigit”
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sepuluh hari terakhir tampak menunjukkan “taring” dengan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) empat kali.
OTT terakhir Sabtu, (5 Desember 2020) itu sangat menarik perhatian, karena menjerat Menteri Sosial Juliari P Batubara. KPK menetapkan Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020.
Baca juga: Presiden Jokowi minta penegak hukum jangan "gigit" pejabat/pengusaha
Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut atas OTT yang dilakukan KPK pada Jumat (5/12/2020) dini hari.
KPK menetapkan lima orang tersangka. Modusnya tersangka MJS dan AW selaku pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) mematok fee sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos, keduanya merupakan tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020, demikian penjelasan Ketua KPK.
Ditambahkan Firli, konstruksi kasus ini berawal dari pengadaan paket sembako sebagai bansos penanganan COVID-19 di Kemensos tahun 2020 dengan total 272 kontrak senilai Rp 5,9 triliun yang dilaksanakan selama dua periode.
Dengan ditangkap dan dijadikan tersangka, menjadikan pernyataan Presiden Jokowi terbukti, akhirnya ada yang “digigit”. Makna dari penegasan Presiden di satu sisi justru melindungi aparatur negara yang sedang menangani wabah COVID-19 agar tidak ragu-ragu ketika dibayang-bayangi sewaktu-waktu “digigit” oleh penegak hukum.
Pernyataan dan pesan Presiden Jokowi yang bersahaja dan sederhana tetapi tegas dan lugas, pesan itu berisi penekanan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan tata kelola dana yang baik. Sekaligus aparat pemerintah bertugas dengan tenang dan penegak hukum akan bertindak secara professional, menegakkan hukum bagi yang melanggar hukum.
Baca juga: Menangguk untung dari bansos COVID-19
Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, pembantu Presiden setingkat menteri melakukan tindak pidana korupsi, dana untuk menanggulangi wabah COVID-10.
Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti bahwa pemerintah tidak main-main dalam hal akuntabilitas. Pencegahan harus diutamakan. Tata kelola yang baik harus didahulukan. Tapi kalau ada yang masih bandel, kalau ada niat untuk korupsi, ada mens rea, maka silakan bapak ibu, “digigit” dengan keras. Uang negara harus diselamatkan kepercayaan rakyat harus kita jaga.
Tidak ada yang kebal hukum
Sejatinya penanganan COVID-19 sudah diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 sekaligus dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu 1/2020 ini sempat menimbulkan polemik, terutama Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3).
Kita lihat bunyi Perppu 1/2020 Pasal 27 ayat (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Baca juga: Sukowi: Eksistensi parpol dipertanyakan seiring menteri tersangka KPK
Pada ayat (2), Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara (PTUN).
Kata-kata bukan merupakan kerugian negara ayat (1), tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan ayat (2) dan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara (PTUN) ayat (3), tidak menjamin bahwa mereka kebal hukum.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, ketika Perppu ini diundangkan mengatakan tidak ada istilah kebal hukum dalam pelaksanaan Perppu 1/2020, pelaku korupsi tetap akan ditindak sesuai aturan hukum berlaku. Pasal 27 pada Perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi. Pasal 27 hanya memberi jaminan agar pelaksana Perppu No 1/2020 tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini memerlukan keputusan yang cepat.
Perppu 1/2020 tidak membuat Penyelenggara Negara kebal hukum. Perlindungan hukum yang diberikan kepada pejabat pelaksana Perppu 1/2020 harus dipahami sebagai koridor dan batasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Pemerintah tidak melindungi mereka yang melaksanakan tugas dengan itikad tidak baik dan tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Kemensos telah minta pendampingan hukum dana bansos sejak awal
Dalam menjalankan tugasnya tentu saja setiap pejabat menjalankan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangan. Dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana", sementara dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Dengan demikian koridor dalam pelaksanaan Perppu ini jelas bahwa tidak boleh melanggar ketentuan perundangan.
Iktikad baik
Payung hukum Perppu 1/2020, bermakna dan sekaligus bisa untuk menggambarkan dan membuktikan bahwa pengelolaan anggaran yang begitu besar, mencapai Rp 677,2 triliun, dalam keadaan darurat COVID-19 benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat Indonesia menghadapi pandemi corona.
Harapan kita semua pengelola dan pengguna anggaran mencapai Rp 677,2 triliun, tanpa ragu-ragu, gamam dan mantap tidak ketakutan tetapi mereka memiliki iktikad baik untuk tidak menyalahgunakan wewenang dan penyelewengan uang Negara. Sasaran harus tepat, prosedur harus sederhana dan tidak berbelit-beli, output (keluaran) dan outcome-nya (hasilnya) harus maksimal bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Kalau tidak memiliki iktikad dan niat baik, masih ada yang bandel untuk korupsi, ada mens rea, maka aparat penegak hukum dipersilakan “menggigit” dengan keras. Uang negara harus diselamatkan. Iktikad baik dan niat baik barus betul-betul menjadi rujukan dan dasar filosofi menggelola dan menggunakan uang Negara.
Tapi jangan “menggigit” orang yang tidak salah. Jangan “menggigit” yang tidak ada mens rea, dan jangan tebarkan ketakutan pada pelaksana dalam melaksanakan tugasnya. Tugas pokok, fungsi dan wewenang KPK sudah tepat “menggigit” aparat yang melakukan tindak pidana korupsi dana corona.
*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indnesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng
Pewarta: Pudjo Rahayu Risan *)
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020