25 November 2020 barangkali merupakan tanggal yang tidak bisa dilupakan oleh Edhy Prabowo, karena pada hari itu, sekitar pukul 1.23 WIB, dirinya bersama sejumlah orang lain ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).memang ada mekanisme ekspor yang dinilai keliru, yakni dalam hal pengangkutan benih bening lobster dari Indonesia ke negara tujuan ekspor. Untuk itu, tim KKP sedang melakukan evaluasi sembari menghentikan sementara ekspor benih lobster.
Edhy Prabowo, yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, ditangkap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sepulang dari kunjungan kerja ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, terkait kerja sama budi daya udang.
Setelah melakukan penyelidikan dengan menggeledah sejumlah lokasi dan melakukan pemeriksaan terkait berbagai aspek, komisi antirasuah tersebut akhirnya menetapkan Edhy Prabowo bersama enam orang lain sebagai tersangka kasus suap penetapan izin ekspor benih lobster.
KPK dalam perkara ini menetapkan Edhy sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.
Uang yang berasal dari rekening tersebut dipergunakan antara lain untuk keperluan belanja barang mewah seperti jam tangan Rolex hingga tas Louis Vitton di negeri adidaya.
Baca juga: KPK panggil sespri dan ajudan Edhy Prabowo
Pascapenangkapan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) langsung mengambil sikap dengan mengeluarkan Surat Edaran NOMOR: B. 22891 IDJPT/Pl.130/Xl/2020, yang menyatakan menghentikan sementara penerbitan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) terkait ekspor benih lobster.
Namun, hal tersebut ternyata tidak membuat upaya menyelundupkan benih lobster menjadi terhenti. Terbukti, sekitar sepekan setelah penangkapan Edhy Prabowo, pihak berwenang juga masih menggagalkan upaya ekspor ilegal sebanyak 42.500 benih lobster di Dermaga Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau.
Hasil sitaan berupa 42.500 benih lobster tersebut kini telah dilepasliarkan KKP di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Batam.
Plt Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, KKP Tb Haeru Rahayu menyatakan pelepasliaran lobster dilakukan sebagai bentuk komitmen KKP dalam menjaga dan melestarikan populasi lobster di habitatnya.
Hal itu, ujar dia, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/PERMEN-KP/2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah negara Republik Indonesia.
Usut tuntas
Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan KPK mengusut tuntas kasus ekspor benih lobster, terkait dengan penangkapan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta sejumlah orang lainnya.
Sekjen Kiara Susan Herawati berpendapat memang banyak hal yang tidak transparan dan akuntabel dalam kebijakan ekspor benih bening lobster ini.
Susan melanjutkan di antara hal yang penting diperhatikan terkait dengan ekspor benih lobster antara lain tidak adanya kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan dalam penerbitan Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan.
Bahkan, masih menurut dia, pembahasannya cenderung tertutup serta tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.
Baca juga: Pakar sarankan dua pendekatan pemanfaatan budidaya lobster
Kedua, penetapan ekspor benih bening lobster sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020 yang diikuti oleh penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster yang terafiliasi kepada sejumlah parpol, serta hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudi daya lobster sebagai objek pelengkap semata.
Ia mengingatkan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut. Bahkan, izin ekspor benih lobster itu dinilai ORI bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.
Selain itu, ujar dia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno Hatta, padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera.
Berdasarkan Keputusan Kepala BKIPM Nomor 37 Tahun 2020 tentang Tempat Pengeluaran Khusus Benih Bening Lobster dari Wilayah Negara RI telah menetapkan enam bandara yang direkomendasikan untuk pengiriman benih lobster ke luar negeri, yaitu Bandara Soekarno-Hatta, Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Internasional Lombok, Bandara Kualanamu Medan dan Bandara Hasanuddin Makassar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menyatakan ekspor benih lobster memiliki permasalahan dari segi hulu hingga ke hilir.
Menurut Tama, sejumlah permasalahan hulu seperti dalam perizinan antara lain terkait kuota dan berdasarkan informasi dari pelaku usaha yang datang ke ICW, ada perusahaan yang memenuhi persyaratan tetapi tidak mendapatkan izin ekspor.
Dari segi hilir, lanjutnya, antara lain adanya penentuan satu perusahaan kargo saja yang memonopoli upaya-upaya untuk melakukan ekspor benih lobster.
Tama juga menyoroti adanya staf khusus menteri yang ternyata bisa menjadi penentu perusahaan mana yang bisa melakukan ekspor, setelah berkoordinasi dengan asosiasi terkait.
Tidak tepat
Sementara itu, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana menilai bahwa ekspor benih lobster merupakan kebijakan yang tidak tepat dalam perspektif ekonomi dan ekologi.
Suhana mengingatkan bahwa secara ekonomi, ekspor benih lobster akan meningkatkan daya saing lobster Vietnam, dan akan menurunkan daya saing lobster Indonesia di pasar internasional.
Ia mengungkapkan, pada 2015, Vietnam berada di atas Indonesia untuk ekspor lobster. Tetapi ketika benih lobster dilarang oleh Indonesia, Vietnam mengalami penurunan, dan Indonesia mulai banyak mengisi pasar internasional seperti China, sehingga kondisi itu meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional.
Namun pada 2020, lanjut dia, kinerja ekspor lobster Vietnam naik seiring dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka ekspor benih lobster.
Baca juga: KPPU sebut sanksi eksportir benih lobster didenda minimal Rp1 miliar
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan evaluasi yang dilakukan pascapenangkapan Edhy Prabowo jangan berhenti hanya soal izin ekspor benih lobster, tetapi harus diperluas ke kebijakan perizinan lainnya.
Abdi Suhufan mengingatkan bahwa selain izin benih lobster, sistem perizinan lain pada sektor kelautan dan perikanan perlu mendapat pengawasan semua pihak terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejumlah hal yang rawan, masih menurut dia, antara lian adalah kewenangan perizinan seperti untuk pertambakan, tata ruang pesisir dan laut, reklamasi dan izin kapal ikan.
Menurut dia, potensi pidana korupsi terkait kasus ekspor benih lobster walaupun nilainya kecil, tetapi bisa berdampak psikologis dan menjadi semacam peringatan bahwa sektor kelautan dan perikanan masih rawan terjadi praktik korupsi.
Ia berpendapat besarnya kewenangan perizinan di KKP ini jika tidak di tata dengan baik akan mengundang praktik percaloan atau broker yang berkelindan dengan kekuasaan atau oligarki.
Kondisi tersebut, lanjutnya, mesti diantisipasi dengan menutup celah korupsi kebijakan, suap dan percaloan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi masyarakat.
Momentum koreksi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, menyatakan tertangkapnya Edhy Prabowo sebaiknya menjadi momentum guna melakukan koreksi total KKP.
Ia memaparkan, sejumlah langkah yang harus dilakukan KKP adalah merevisi regulasi terkait syarat kejanggalan dari hulu ke hilir terkait dengan pengaturan pemanfaatan lobster, serta menyinergikan program dan kegiatan antara Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya untuk memperkuat usaha pembesaran lobster dalam negeri.
Hal yang tidak kalah penting, lanjutnya, adalah KKP perlu lebih besar lagi bersinergi dengan nelayan dan pembudi daya lobster di berbagai daerah.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan tidak ada yang salah terkait regulasi mengenai benih lobster seperti tertuang dalam Peraturan Menteri KP Nomor 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.
Luhut menyebut memang ada mekanisme ekspor yang dinilai keliru, yakni dalam hal pengangkutan benih bening lobster dari Indonesia ke negara tujuan ekspor. Untuk itu, tim KKP sedang melakukan evaluasi sembari menghentikan sementara ekspor benih lobster.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim Syahrul Yasin Limpo mengajak seluruh pegawai KKP untuk bangkit dan terus berbuat yang terbaik bagi negara, antara lain dengan mengoptimalkan kegiatan di sisa waktu tahun anggaran 2020.
Dikatakannya, program-program KKP tidak boleh berhenti lantaran sangat dinanti oleh para nelayan, pembudidaya, pengolah, serta pemasar hasil perikanan terlebih di tengah kondisi pandemi saat ini yang sangat membutuhkan kehadiran negara.
Semoga wejangan tersebut benar-benar dilaksanakan dengan nyata dan sepenuh hati, agar ke depannya tidak ada lagi guncangan seperti kasus lobster yang menggemparkan dunia sektor kelautan dan perikanan nasional.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020