"Kita berharap media memberikan informasi kepada publik lebih kepada pendidikan politiknya, termasuk penekanan integritas penyelenggaranya," papar Muhammad di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Menurut dia, bagi penyelenggara yang dilaporkan melanggar kode etik hingga dijatuhi sanksi saat diberitakan adalah hal yang sangat wajar sebagai bentuk efek jera.
Namun demikian, lanjutnya, terkadang pemberitaan tersebut dinilai berlebihan dan terus diulang membuat yang bersangkutan mengalami trauma hingga hilang kepercayaan dirinya.
Baca juga: DKPP ingatkan penyelenggara pemilu tegas laksanakan protokol kesehatan
Meski begitu, kata mantan Ketua Bawaslu RI saat ngobrol etika penyelenggara dengan media ini mengemukakan, peran pers dianggap sangar luar biasa dalam mengawal demokrasi di Indonesia.
Sementara pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Dr Hasrullah menambahkan, apa yang disampaikan Prof Muhammad sejalan dengan realita yang berkembang saat ini, bahwa media memang perlu memberikan ruang-ruang edukasi kepada publik.
Kendati peran DKPP sebagai dewan kehormatan yang mengawasi hingga mengeluarkan putusan sanksi kepada pelaksana penyelenggara yang melakukan pelanggaran kode etik, pers juga diharapkan ikut membantu memberikan pelajaran pendidikan poilitik sebagai bagian dari empat pilar demokrasi bangsa.
"Apa yang sampaikan pak prof itulah yang berkembang. Jadi fungsi pers saat ini mesti memberi edukasi seperti membedah visi misi calon kepala daerahnya," paparnya.
Baca juga: DKPP RI sebut 120 aduan pelanggan kode etik pilkada
Fenomena di masa Pilkada sekarang ini, tambah dia, siapa saja yang dekat dengan media, tentu akan lebih populer. Begitupun kasus atau peristiwa kecurangan pemilu bisa terbuka dan tersampaikan kepada publik karena ada peran media disitu.
Manajer Digital Harian Tribun Timur, Mansyur Amirullah menambahkan, sejauh ini kebebasan pers sangat besar sehingga dimanfaatkan oleh berbagai pihak membuat media. Industri media pun berkembang pesat dijaman digital ini hanya saja pelanggaran kode etik jurnalistik sering terjadi.
"Banyak media daring (online) bermunculan, namun tidak memahami 11 poin kode etik. Terkadang sumbernya pun diambil dari media sosial yang belum tentu kebenarannya lalu dipublis dan tidak melakukan konfimasi," bebernya.
Diskusi tersebut selain menghadirkan Ketua DKPP RI Prof Muhammad, juga dihadiri Ketua Dewan Etik Dosen LLDIKTI IX Sulawesi, Prof Dr Ma’ruf Hafidz, Pengamat Politik Unhas Dr Hasrullah, dan Manajer Digital media harian Tribun Timur Masyur Amirullah.
Baca juga: Kopi-kopi pilkada
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020