• Beranda
  • Berita
  • Meutia Hatta: Perkawinan anak hanya menurun 3,5 persen dalam 10 tahun

Meutia Hatta: Perkawinan anak hanya menurun 3,5 persen dalam 10 tahun

14 Desember 2020 20:22 WIB
Meutia Hatta: Perkawinan anak hanya menurun 3,5 persen dalam 10 tahun
Poster kampanye perlindungan anak tentang stop perkawinan anak pada seremonial penyusunan modul penguatan kesejahteraan sosial anak integratif, di Palu, Senin. (ANTARA/HO-Humas Pemprov Sulteng)
Guru besar antropologi Universitas Indonesia Prof Meutia Hatta Swasono mengatakan praktik perkawinan anak di Indonesia hanya menurun 3,5 persen saja dari 2008 hingga 2018.

"Menurut data statistik UNICEF dan Puskapa UI bekerja sama dengan Bappenas dan BPS, Indonesia menempati posisi 10 besar di dunia dengan angka perkawinan anak tertinggi," kata Meutia dalam seminar daring tentang perkawinan anak yang diselenggarakan Yayasan Mitra Daya Setara diikuti dari Jakarta, Senin.

Perkawinan anak yang tinggi berdampak pada lama sekolah penduduk Indonesia. Hanya ada tiga provinsi yang rata-rata siswanya bersekolah sembilan tahun atau lebih, yaitu Aceh, Yogyakarta, dan Sulawesi Utara.

Sementara itu, siswa di provinsi-provinsi lain di Jawa, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Maluku rata-rata hanya bersekolah delapan tahun. Lainnya hanya menempuh masa belajar rata-rata di bawah tujuh tahun, bahkan di Papua rata-rata hanya di bawah empat tahun.

Baca juga: Perkawinan anak berisiko tinggi terhadap kemiskinan

Baca juga: Legislator nilai Peraturan MA soal dispensasi kawin sudah cukup baik


Menteri Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009 itu mengatakan kondisi tersebut menggambarkan keadaan yang tidak diharapkan, apalagi dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 1973 yang awalnya bernama Kementerian Muda Peranan Wanita.

"Telah banyak peningkatan program pemberdayaan perempuan yang dibangun sejak 2000, tetapi masih terdapat tantangan terhadap perkawinan anak yang hanya menurun 3,5 persen dalam kurun waktu 10 tahun," tuturnya.

Karena itu, perlu ada rekayasa budaya untuk mencegah praktik perkawinan anak. Rekayasa budaya merupakan upaya menanamkan cara pandang baru dan atau pola pikir baru maupun persepsi dalam menghadapi fenomena sosial baru di masyarakat akibat perubahan sosial budaya yang cukup signifikan.

"Diperlukan sikap mental dan perilaku adaptif yang tepat untuk menanggapinya. Perkawinan anak adalah fenomena masalah yang memerlukan rekayasa budaya untuk mencegahnya," ujarnya.

Pendiri Yayasan Mitra Daya Setara Linda Amalia Sari Gumelar mengadakan seminar daring bertema "Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak" karena praktik perkawinan anak dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya masih terus terjadi di masyarakat.

"Masih ada anggapan sebagian masyarakat dan pemahaman terhadap tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran yang sebenarnya yang terkesan mendukung praktik perkawinan anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2009-2014 itu.*

Baca juga: KPAI: Dispensasi masih jadi tantangan pencegahan perkawinan anak

Baca juga: Menteri PPPA: Pandemi berdampak pada tingginya perkawinan anak

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020