"Kalau pemilih ataupun petugas KPPS tidak disiplin protokol kesehatan pada saat di TPS lalu, maka rawan munculnya penyebaran COVID-19 yang pada akhirnya terjadi di lingkungan keluarga," ujarnya di Banjarmasin, Selasa.
Berdasarkan keterangan pemerintah, kata Syamsul, sejauh ini memang tidak ada laporan adanya kluster COVID-19 usai pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 di seluruh Indonesia.
Meski begitu, organisasi kesehatan dunia atau WHO secara umum menyatakan durasi positivitas RT-PCR berkisar antara 1 sampai 2 pekan untuk orang tanpa gejala dan hingga 3 pekan atau lebih untuk pasien dengan penyakit ringan hingga sedang. Sedangkan pada pasien dengan penyakit COVID-19 parah, durasi ini dapat lebih lama.
Baca juga: Komnas HAM soroti petugas pilkada terpapar COVID-19 tak transparan
Baca juga: Mahfud MD tegaskan belum ada klaster COVID-19 terkait pilkada
"Oleh karena itu pertambahan kasus COVID-19 pada 2 sampai 3 pekan ke depan tetap harus diwaspadai," ujar Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran ULM itu.
Jika ditemukan kluster keluarga terutama pada rentang waktu 2-3 pekan usai pilkada, maka Syamsul berharap petugas kesehatan melakukan penelusuran kontak erat yang lebih optimal agar secepatnya dapat dilakukan antisipasi jika ada kaitannya dengan pelaksanaan pilkada.
Beberapa faktor penyebab potensi terjadinya penyebaran COVID-19 di pilkada, menurut Syamsul, di antaranya jika pemilih dan petugas tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan sesaat sampai di rumah setelah dari TPS.
Seharusnya sesuai protokol kesehatan di rumah, kata dia, bagi anggota keluarga yang baru datang, terutama yang berada di kerumunan saat di luar rumah harus segera mandi dan mengganti pakaian yang digunakan. Pada saat sekarang penerapan protokol kesehatan seperti ini sudah banyak yang melanggar.
Kemudian petugas TPS yang kelelahan bisa jadi rentan terhadap paparan COVID-19, sehingga jika muncul keluhan ringan, segera lakukan kembali tes COVID-19 untuk memberi keamanan bagi anggota keluarga lain di rumah.
Kemudian pada beberapa kasus ditemukan petugas TPS yang reaktif tetapi tetap bertugas. Hal ini disesalkan Syamsul lantaran hasil tes usap sendiri terlambat diketahui hingga hari pencoblosan berakhir.
"Sampah sarung tangan plastik yang digunakan pemilih juga belum terkelola dengan baik karena saya lihat banyak berceceran di sekitar TPS. Padahal sampah seperti ini termasuk klasifikasi sampah medis yang harus dikelola secara khusus," ucapnya.*
Baca juga: Ahli epidemiologi Riau sarankan tes usap masif usai Pilkada
Baca juga: Dinkes Lampung sebut tiga kasus positif merupakan anggota KPPS
Pewarta: Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020