Suling itu tidak bisa dipakai sepanjang waktu. Rata-rata usianya hanya satu tahun
Aroma tanah basah begitu kuat. Hujan baru saja menyapu pekarangan sebuah rumah di Dusun Tuni, Urimesing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Sementara itu, angin berembus menghadirkan suara gesekan daun bambu yang khas. Gemerisiknya bak salah satu bagian dari orkestra musik alam.
Rumah asri berdinding bata ekspose di bukit itu kepunyaan Maynart Raynolds Nathanael Alfons (53).
Pria tersebut akrab disapa Rence dan dikenal sebagai pendiri dan komposer Moluccas Bamboowind Orchestra (MBO), satu kelompok musik orkestra bambu yang cukup populer di Maluku, bahkan sampai ke nasional dan internasional.
Pada beberapa sudut pekarangan rumahnya yang luas, tumbuh aneka tanaman. Namun rumpun bambulah yang paling mendominasi.
Rumpun bambu yang tumbuh subur itu selalu menginspirasi Rence saat mengaransemen lagu-lagu yang akan dibawakan MBO di setiap konser mereka, supaya terdengar merdu dan tradisional.
Alunan suara merdu suling yang ditiup 100 pemain MBO, biasanya dipadukan dengan alat musik tradisional Maluku lainnya, seperti totobuang (berbentuk gong-gong kecil), tifa, serta rebana. Terkadang dipadukan juga dengan alat musik modern, seperti keyboard, set drum, gitar melodi, gitar bas, saksofon, dan biola.
Setelah menyeruput kopi hitamnya, Rence kembali berkutat dengan puluhan suling milik MBO, yang diletakkannya pada tapalang (kursi panjang dari pelepah sagu). Satu per satu suling itu ditiupnya beberapa kali, yang nadanya pales disingkirkan.
Aktivitas mengecek ulang bunyi suling itu secara rutin dilakukan lulusan musikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, setiap menjelang konser MBO.
"Musti dicek ulang. Suling itu tidak bisa dipakai sepanjang waktu. Rata-rata usianya hanya satu tahun, jadi kalau MBO mau konser, biasanya beta cek ulang lagi satu per satu," tutur pengagum komposer Wolfgang Amadeus Mozart itu saat ditemui di penghujung November 2020 lalu.
Baca juga: Pertunjukan musik Bambu Tada pecahkan rekor MURI
Pengecekan mulai dari suling suara satu sampai suara lima. Ada 20 buah suling untuk masing-masing jenis suara, dan kelima jenis suling itu mampu menghasilkan komposisi nada mulai dari nada tertinggi sampai nada terendah.
Suling yang nadanya pales, harus dibikin baru sebagai penggantinya. Umumnya jumlah suling yang harus diganti bisa setengah dari 100 buah suling yang ada.
Dulu Rence sendiri yang membuat suling, menciptakan aransemen, dan melatih. Rangkap jabatan itu dilakukannya hingga 2010.
Namun, seiring perjalanan MBO, dia kini tidak lagi melakukan semua pekerjaan itu. Sekarang, di kelompoknya sudah ada yang bisa menjadi pengaransemen, pelatih suling untuk masing-masing suara, termasuk pembuat suling.
Rence hanya tinggal mengeset suara masing-masing suling, karena teman-temannya yang lain belum mampu melakukannya.
Setiap mengecek nada serta mencocokkan suara suling dengan aplikasi yang ada pada telepon pintarnya, Rence selalu teringat pertanyaan menggelitik sahabatnya yang juga Direktur Ambon Music Office (AMO) Ronny Loppies.
"Ale seng berpikir suatu saat bulu di Tuni abis, lalu ale mo ambe dar mana untuk bikin suling baru? (Kamu tidak berpikir suatu saat bambu di Tuni habis, lalu kamu mau ambil dari mana untuk bikin suling baru),” tanya Ronny ketika itu.
Pertanyaan yang didengarnya dua tahun lalu itu, terus diingat dan menjadi beban pikirannya sampai saat ini.
Rence mengaku sebelum mendapat pertanyaan kritis dari sahabatnya itu, pada suatu kesempatan dirinya kesulitan mendapatkan bambu untuk membuat suling. Dia khawatir lama-lama bambu di Tuni, bahkan di Kota Ambon akan habis.
Ia mulai berpikir ulang tentang pertanyaan rekan sesama musisi pada dua tahun lalu itu, karena saat ini mencari bambu yang cocok sebagai bahan membuat suling bukanlah perkara mudah. Tidak sembarang bambu bisa dijadikan suling.
Rence mulai kesulitan mendapatkan bambu berdiameter empat sampai dengan enam sentimeter di sekitar rumahnya maupun di Dusun Tuni, tempat tinggalnya, untuk membuat suling suara empat.
Pertumbuhan bambu tui (Schizostachyum lima (Blanco) Merr) sebagai bahan dasar membuat suling, sangat lambat. Bambu tersebut cepat besar kalau rumpunnya tumbuh dan hidup di bawah pohon pelindung, seperti pohon kenari atau durian yang besar.
“Beberapa tahun belakangan ketika hendak ambil di tempat biasa beta ambil, bambunya sudah tidak ada lagi. Cuma ada yang masih kecil-kecil. Tidak bisa untuk suling suara 4. Bambunya habis karena diambil terus menerus,” ujar Rence resah.
Baca juga: 594 peniup musik bambu akan tampil di acara adat Tulude
Di kampungnya, pada kawasan tertentu saat musim panas bambunya mati. Dia coba bicara dengan orang-orang di sana dan menyarankan mereka jika bukan untuk membuat suling, sebaiknya yang diambil adalah bambu jawa atau bambu petong (Dendrocalamus asper).
Belakangan ia mendapat informasi kalau bambu yang baik untuk suling itu jenis bambu Tapir (Schizotachyum blunei Ness), dan banyak tumbuh di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
"Beta dengan basudara (saudara-saudara) pergi menyeberang dengan feri ke daerah Mornateng di SBB," kata dia.
Pengalaman perjalanan sejauh 180 kilometer dari Dusun Tuni menuju Mornateng itu disampaikan kepada sahabatnya, Ronny. Dari situ lah muncul gagasan mempertahankan musik tradisional suling bambu dengan melestarikan hutan bambu.
Sound of Green
Direktur Ambon Music Office (AMO) Ronny Loppies mengatakan eksploitasi tanaman bambu secara kontinyu untuk bahan baku pembuatan suling di Ambon, terutama di Dusun Tuni, jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak hilangnya hutan bambu.
“Jika hutan bambu hilang, maka hilang pula musik bambu sebagai musik tradisi yang menjadi andalan Dusun Tuni, maupun desa-desa sekitarnya di Kota Ambon,” ujar dia.
Menurut jebolan S2 Penginderaan Jauh Kehutanan pada salah satu kampus di Jerman itu, berangkat dari keresahan hilangnya hutan bambu, AMO lantas membuat Sound of Green (SoG), menjadi ikon penting saat ini, yang beraksentuasi kepada kolaborasi antara musik dan lingkungan, serta dampaknya terhadap sektor-sektor lain.
“'Sound of Green is the sustainability environmental based on music'. Musik menjadi lokomotif utama untuk menggerakkan gerbong-gerbong lain atau sektor-sektor lain, terutama lingkungan,” kata dia.
Ronny yang ikut berperan mengantarkan Ambon diakui UNESCO sebagai Kota Kreatif Dunia Berbasis Musik itu, mengatakan suling bambu merupakan musik yang menggerakkan aktivitas masyarakat di Dusun Tuni, sebagai budaya yang melekat pada masyarakat dan tidak pernah dapat dilepaspisahkan.
Itu sebabnya melalui SoG, AMO lantas bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lewat Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), melakukan konservasi hutan bambu, yang juga dipakai sebagai bahan baku pembuatan alat musik tradisional suling bambu.
Menurut Ronny, upaya melestarikan hutan bambu memiliki hubungan yang kuat dengan keberlanjutan musik tradisi itu sendiri.
Namun, di sisi lain akan berpengaruh terhadap upaya mengeliminasi dampak longsor (mitigasi bencana) dan mengurangi emisi karbon.
“Program SoG ini dalam aplikasi dari SDGs pada tujuan ke-13 (climate action) dan 15 (life on land). Penanaman bambu memiliki dampak bukan saja untuk perbaikan lingkungan tetapi juga menyerap karbon dan upaya mitigasi bencana,” tuturnya.
Baca juga: Memberdayakan masyarakat Sangihe melalui bambu
Program SoG dari AMO itu dimaksudkan untuk menekan deforestasi di Kota Ambon. Dari segi tata kelola sudah terbentuk KPH sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Rehabilitasi lahan
Senada dengan Ronny, Kepala KPH Ambon, Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease Jacqueline June Fransz menuturkan, bambu sangat baik sebagai tanaman konservasi dan upaya mitigasi bencana.
“Bambu punya peranan sangat penting terutama mencegah erosi. Kemudian dengan akar rimpangnya yang kuat, dia mampu menyerap air yang cukup tinggi pada saat musim hujan. Baik untuk ketersediaan air tanah, menyerap karbon, serta dapat mencegah longsoran dan sebagainya,” ujar dia.
June memandang SoG yang digagas AMO saat ini sangatlah tepat jika lebih fokus pada bambu. Karena selain menyumbang pada rehabilitasi, bambu juga sebagai bahan baku pembuatan suling.
Apalagi beberapa jenis bambu yang dibutuhkan untuk pembuatan suling sudah tidak ada, bahkan sudah hampir punah di Kota Ambon.
“SoG juga bertujuan rehabilitasi. Nah kita memang punya banyak lahan kritis. Ada kurang lebih 1.661 hektare lahan kritis di Kota Ambon. Luasannya ada pada beberapa kecamatan. Ini butuh direhabilitasi. Dan salah satu tanaman yang baik untuk itu adalah bambu,” ujar dia.
Menurut dia, program SoG sebetulnya sejalan dengan misi KPH. Ada beberapa aspek yang menjadi sumbangsih untuk SoG, salah satunya peningkatan peran serta masyarakat pemilik dusun dalam pengelolaan hutan untuk menekan deforestasi.
Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan bambu sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), ekowisata, jasa lingkungan dan lain-lain, termasuk melibatkan masyarakat, ketika pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dengan sistem agroforestri tradisional.
Melalui KPH Ambon itulah, Rence dan Moluccas Bamboowind Orchestra lantas terhubung dengan BPDAS di Ambon, untuk mendapatkan pasokan 40.000 bibit bambu.
“Pihak Balai Pengelolaan DAS menghubungi beta. Mereka naik (ke Dusun Tuni, red.) untuk melihat lokasi. Lalu bertamu ke rumah kepala dusun, dilanjutkan kumpul warga dari empat RT. Kita berbicara lalu programnya pun jalan,” kata Rence.
Pembibitan dilakukan untuk bambu tapir yang kelak akan dikhususkan menjadi bahan baku suling, selain bambu toi dan bambu sero. Lalu ada bambu jawa dan petong, khusus untuk fungsi rehabilitasi dan penyimpan air, serta diambil rebungnya untuk sayuran.
Baca juga: Andien dukung musik bambu mendunia
Anak-anak SD dan SMP di MBO juga dilibatkan dalam pembuatan polibag. Artinya sejak dini mereka sudah diajarkan ikut gerakan pelestarian lingkungan.
Saat penanaman, anak-anak juga dilibatkan, termasuk pada sekolah alam yang dibangun di Dusun Tuni.
“Semua musisi MBO, yang tidak saja dari Dusun Tuni, nanti kita kasih bibit juga. Agar semua anggota MBO bisa ikut menanam bambu di rumah masing-masing,” ujar dia.
Maksudnya, agar semua anggota MBO ingat bahwa mereka terlibat dengan bambu, alat musik yang mereka mainkan.
Jadi, mereka mengerti proses pembibitan, penanaman, hingga pembuatan suling.
Hal yang penting, mereka bisa paham tentang pelestarian alam. Ekosistem berhubungan dengan musik.
Kalau tidak ada bambu, mereka tidak bisa bermusik.
* Zairin Salampessy, penulis dan fotografer lepas dari Kota Ambon, salah satu pemenang Fellowship EcoNusa yang dilaksanakan bersama ANTARA untuk isu hutan.
Baca juga: Industri musik kota Ambon dipromosikan ke dunia internasional
Baca juga: Kota musik dunia bisa disandang Ambon, sebut direktur Unesco
Baca juga: Pemkot siapkan regulasi wujudkan Ambon kota musik dunia
Pewarta: Zairin Salampessy *)
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020