Rencana Kementerian Perindustrian (Kemenperin) agar harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus dinaikkan menjadi di atas enam dolar AS per MMBTU mendapat dukungan.Saya rasa satu tahun cukup untuk dievaluasi, apakah industri-industri tersebut layak atau tidak mendapatkan harga gas tersebut
"Saya rasa satu tahun cukup untuk dievaluasi, apakah industri-industri tersebut layak atau tidak mendapatkan harga gas tersebut. Jika tidak, sebaiknya dikembalikan seperti awal atau dialihkan untuk industri yang lebih layak," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Inpex-PGN tanda tangani MoU jual beli gas dari Blok Masela
Mamit mengatakan jika kebijakan harga enam dolar AS per MMBTU tidak memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan, maka negara akan dirugikan.
Ia mengatakan jika dari tujuh industri yang ditetapkan mendapat harga gas enam dolar AS per MMBTU, tidak seluruhnya memberikan multiplier effect atau dampak berantai pada masyarakat dan perekonomian sebaiknya dicabut saja.
Kebijakan harga gas sebesar enam dolar AS per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Dalam Kepmen ESDM Nomor 89/2020 disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus enam dolar AS per MMBTU, yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Berdasarkan aturan tersebut, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.
"Jadi, yang perlu diubah saya rasa cukup Kepmen 89 ESDM saja, karena yang mengatur industri mana saja yang mendapat jatah enam dolar AS per MMBTU ada di situ," katanya.
Oleh karena itu, Mamit meminta Kemenperin, Kementerian ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini. Apakah dampak yang diharapkan sudah sesuai atau sebaliknya.
"Rangkaian evaluasi ini perlu dibuka, jangan sampai nanti dampaknya adalah harga gas turun tetapi multiplier effect-nya tidak terlihat. Karena yang dipotong ini adalah jatah negara, jangan sampai negara justru dirugikan,” katanya.
Mamit mengingatkan kebijakan harga gas enam dolar per MMBTU awalnya ditujukan agar beban biaya industri berkurang, sehingga bisa bersaing dengan produk luar negeri dan harga produk yang lebih rendah itu juga dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dengan bersaingnya industri nasional, maka penjualan industri meningkat, sehingga penerimaan negara meningkat dari penerimaan pajak. Dari situlah jatah negara yang dikurangi dari penurunan harga gas dapat dikembalikan.
"Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar 14,39 juta dolar AS atau Rp223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu. Saya menghitung untuk enam industri yaitu petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Mamit.
Hanya saja, dengan kondisi pandemi COVID-19 yang menghantam seluruh industri, membuat keputusan evaluasi kebijakan harga gas industri menjadi cukup berat.
"Evaluasi tetap perlu dilakukan, namun tetap mempertimbangkan kondisi industri. Kita berharap saja, pandemi bisa berakhir di tahun depan,” pungkasnya.
Baca juga: Kemenperin kawal realisasi penurunan harga gas industri
Baca juga: Menteri ESDM: peluang industri migas masih prospektif
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020