• Beranda
  • Berita
  • Rumah bambu Banda, strategi selamatkan pasir dan biota laut (Bagian-2)

Rumah bambu Banda, strategi selamatkan pasir dan biota laut (Bagian-2)

18 Desember 2020 09:24 WIB
Rumah bambu Banda, strategi selamatkan pasir dan biota laut (Bagian-2)
Rumah bambu ini dibangun tepat di depan Masjid Desa Tanah Rata, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Di samping kiri bangunan rumah bambu ini adalah kantor desa. (NURDIN TUBAKA)

Ketika gunung api meletus di tahun tersebut, kolam penyu yang masuk dalam Taman Wisata Alam Pulau Banda itu kemudian tertutup lahar dan hilang hingga sekarang

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, Leny Patty merespons positif program rumah bambu oleh TWP Laut Banda. Menurut dia, selain bagus dan ramah lingkungan, juga bagian dari kearifan lokal masyarakat adat di Maluku, yang harus dilestarikan sepanjang masa.

Dari dulu, kata dia, leluhur dan orang tua sudah membangun rumah dengan memakai bambu. Program rumah bambu harus didukung oleh semua pihak, apalagi Maluku adalah daerah yang rentan gempa, dan rumah bambu bisa mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa.

Leny menyatakan, bambu dan gaba-gaba (bilah pohon sagu atau rumbia) adalah kearifan lokal yang harus dilestarikan secara terus-menerus, dan mestinya kembali ke alam.

Pengerukan pasir tentu sangat merugikan lingkungan dan masyarakat pesisir. Sisi lain, garis pantai akan berkurang dan para nelayan kesulitan beraktivitas karena ekosistem dan biota laut terancam.

Sumber-sumber makanan juga hilang, dan ikan-ikan akan pergi jauh jika terumbu karang mengalami kerusakan akibat pengerukan pasir berlebihan. Ini yang harus dihindari semua pihak jika ingin laut dan hutan selamat.

Untuk itu, AMAN Maluku meminta kolektivitas masyarakat bekerjasama menjaga alam dengan cara mengurangi pengerukan pasir di pantai dan laut, agar bisa bermanfaat bagi generasi mendatang.

Dia juga mengingatkan masyarakat untuk hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya laut, karena beberapa pulau yang hilang bukan saja disebabkan oleh perubahan iklim, tapi juga bisa karena pengerukan pasir berlebihan.

Baca juga: Rumah bambu Banda, strategi selamatkan pasir dan biota laut (Bagian-1)

Kawasan pesisir pantai Desa Tanah Rata, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kawasan ini dulunya terdapat hamparan pasir, namun akibat pengerukan berlebihan, kini terkuras habis. (NURDIN TUBAKA)

 

Izin pengelolaan

Santoso Budi, Kepala Loka Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong mengatakan, Direktorat Pengelolaan Ruang Laut memiliki dua Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk optimalisasi pelaksanaan tugas di daerah. Pertama UPT yang mengelola Kawasan Konservasi Perairan Nasional, kedua mengelola sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di wilayah provinsi tertentu.

Loka PSPL Sorong merupakan UPT di bidang pengelolaan sumber daya pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat

Dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai UU 32 tahun 2004, sebut dia, kewenangan pengelolaan terbagi antara pemerintah pusat dan daerah.

Pemerintah pusat melaksanakan pengelolaan di wilayah yang menjadi kewenangan pusat, baik kawasan strategis nasional atau strategis nasional tertentu, konservasi perairan nasional dan kawasan perairan di atas 12 mil laut.

TWP Laut Banda merupakan kawasan konservasi perairan nasional yang dikelola Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional (KKPN) Kupang. Ada delapan wilayah di timur Indonesia, tujuh di antaranya berada di Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat.

Berdasarkan UU No 1 tahun 2014, pasal 16 bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan sebagian pulau-kecil kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi sebagaimana dimaksud, diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Baca juga: 60 persen biota laut ditemukan di Sulut

Reklamasi atau pengerukan pantai seringkali tidak bisa dihindarkan untuk kepentingan pembangunan. Pengerukan pantai misalnya untuk pembangunan pelabuhan baru bisa dilaksanakan dengan melihat dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi.

Untuk pengerukan pantai di TWP Laut Banda bisa dilaksanakan dengan didasarkan RZWP3K Maluku dan ijin lokasi dari pemerintah pusat atau daerah sesuai kewenangannya. Izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan dapat diberikan bagi masyarakat lokal dan tradisional.

Menurut Santoso, pengerukan pasir di Desa Tanah Rata harus ditata kembali. “Ada tidak izinnya?. Lalu apakah lokasi tersebut adalah zona yang diperbolehkan pengerukan (pengambilan) pasir pantai?” cetusnya.

Dia menegaskan, apabila kedua hal tersebut di atas salah satu tidak terpenuhi, harus dihentikan dan bisa dilaporkan kepada aparat penegak hukum atau pemerintah. Kemudian, sambung Santoso, jika kedua hal itu ada izin dan kesesuaian zonasi, namun terdapat dampak negatif dari pengerukan di Desa Tanah Rata, bisa diusulkan perubahan RZWP3K-nya.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bisa dilaksanakan berdasarkan RZWP3K dan atau RT/RW. Artinya jika RT/RW-nya membolehkan reklamasi, berarti bisa saja.

Reklamasi berdasarkan Perpres, kata dia, adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan lahan atau drainase.

Jadi kalau berdasarkan regulasi dan ketentuan, jika memang tidak ada izin, harus berani melarang kegiatan yang tidak sesuai ketentuan.“Di Desa Tanah Rata apakah ada peruntukan untuk reklamasi atau tidak. Kalau tidak, ya harus segera dilarang kegiatan reklamasi di sana,” tegas Santoso.

Dia juga mengatakan, meskipun penyu saat ini masih dalam pengelolaan KLHK, namun PSPL Sorong bersama-sama BKSDA Maluku banyak melakukan kegiatan terkait konservasi penyu melalui perlindungan habitat atau pantai penelurannya.

Meity Pattpaweej, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai KSDA Maluku mengisahkan, di Banda memang ada legenda kolam penyu. Sebelum gunung api meletus di tahun 1988 silam, ada masyarakat yang tinggal dan memelihara penyu di kolam itu.

Ketika gunung api meletus di tahun tersebut, kolam penyu yang masuk dalam Taman Wisata Alam Pulau Banda itu kemudian tertutup lahar dan hilang hingga sekarang.

Sementara masyarakat yang dulunya tinggal di kawasan itu juga sudah pindah sejak lama. Kalau keberadaan penyu, kata dia, masih terdapat di Pulau Hatta, karena sumber pasir makanya pendaratan penyu banyak di sana.

Ia mengemukakan, pengerukan pasir di Tanah Rata jauh dari kawasan konservasi, serta mungkin tidak ada penyu di sana. Tapi kalau ada, akan berdampak kepada habitat penyu dan populasinya bisa hilang karena mencari tempat hidup baru.

Gunung Ganapus Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Di kawasan gunung api ini, sering dilakukan aktivitas pengerukan pasir, juga penimbunan batu. Di sini, dulunya terdapat kolam penyu, tapi tragedi gunung meletus pada 1988 silam, kolam penyu itu akhirnya tertutup lahar dan hilang hingga sekarang. (NURDIN TUBAKA)

Regulasi-sasi

Akademisi Politeknik Kelautan dan Perikanan Maluku Muhammad Zia Ulhaq Payapo mengatakan, kalau bicara mengenai penambangan atau pengerukan pasir maka harus merujuk pada dasar peraturan. Ada Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 mengenai penambangan dan pengerukan pasir.

Sebenarnya budaya pengerukan pasir sudah dilakukan sejak lama. Rata-rata masyarakat Maluku dan Indonesia, menggunakan pasir sebagai material dasar untuk infrastruktur pembangunan rumah. Namun, jika dilakukan berlebihan akan berdampak negatif.

Sehingga antisipasi untuk menghindari pengerukan pasir pantai ini harus ada hukum mengikat, misalnya peraturan desa yang mengatur seputar pengerukan, yang tidak hanya berdampak kepada individu tetapi secara kolektif.

Sekretaris Kelompok Konservasi Pulau Ay Andre Laminggu Sondak mengatakan, pada 2014, Pemerintah Negeri Administratif Pulau Ay, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menetapkan sasi (larangan) sebagai alternatif untuk melindungi sumber daya laut dan hutan di teritorial mereka.

Sasi itu diramu dan terakomodir dalam Peraturan Negeri Administratif Pulau Ay Nomor 1 Tahun 2014, Tentang Pengeloloan Sumber Daya Alam.

Sasi laut yang diterapkan Pemerintah Negeri (Desa) setempat meliputi, lola, lobster, teripang, ikan, penyu, siput batu laga, dan terumbu karang. Ada juga sasi hutan.

Dia mengatakan, berbagai peraturan dan sasi yang diterapkan bersifat mengikat dan berujung sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah Desa setempat, bahkan tak segan-segan menghukum setiap orang yang kedapatan mengambil hasil laut dan darat, sebelum sasi resmi dibuka.

Dia menyebut, peraturan tersebut merupakan kerja sama antara Pemerintah Desa, Saniri (Dewan Perwakilan Desa) dan mendapat persetujuan dari masyarakat setempat, termasuk Kelompok Konservasi Pulau Ay.

Bukan saja lola dan populasi laut lain, Pemerintah Negeri di sana juga melarang adanya pengerukan pasir, apalagi dalam skala besar, seperti dengan anggaran mencapai Rp 1 miliar. Jadi baik pemerintah kabupaten, provinsi maupun pusat, dilarang keras menambang pasir.

Pengerukan pasir untuk penimbunan rumah juga dilarang. Tidak boleh dalam jumlah besar, guna melindungi wilayah pesisir dari gelombang laut.

Sekretaris Kelompok Konservasi Pulau Ay Andre Laminggu Sondak. (NURDIN TUBAKA)

 

Tugas semua

Telah nampak kerusakan di laut, dan di darat karena ulah tangan manusia. Itulah sepenggal kalimat kutipan Al-Qur’an yang disampaikan M. Syafin Soulisa, Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) IAIN Ambon.

Pelestarian alam, tutur Syafin, bukan saja tugas dan tanggung jawab dari dinas-dinas terkait, kelompok konservasi, tokoh agama, tokoh masyarakat, ilmuwan akademisi dan lainnya, melainkan semua pihak, karena dampak dan musibah itu terjadi pada semua makhluk Tuhan.

Jadi pencerahan solusi, dan berbagai informasi harus disampaikan oleh semua elemen penting di daerah ini. Misalnya, guru harus memberi penyadartahuan kepada siswanya, begitu pun dosen kepada mahasiswa dan seterusnya.

Dia mengatakan, di IAIN saat ini terdapat jurusan pengembangan masyarakat Islam yang lebih fokus kepada pemberdayaan masyarakat pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

Jadi hal penting yang harus diperhatikan oleh semua pihak termasuk masyarakat di Kepulauan Banda adalah bagaimana menjaga keasrian pulau itu, agar menjadi masa depan bagi anak cucu, juga surga untuk wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang berkunjung di sana.

 Pulau Karaka, terletak tepat di pintu masuk Pelabuhan Banda Neira, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. (NURDIN TUBAKA)

Baca juga: Foto biota laut dipamerkan ke tim CCRES
Baca juga: LIPI resmikan balai bio industri laut Mataram

*) Nurdin Tubaka adalah salah satu pemenang Journalist FELLOWSEA (Kerja sama Lembaga Pendidikan ANTARA-Yayasan ECONUSA) untuk isu laut

 

 

Pewarta: Nurdin Tubaka *)
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020