Tak hanya menyimpan berbagai sejarah penting dan kekayaan rempah-rempah, Kepulauan Banda juga mempunyai pesona keindahan alam yang sangat luar biasa. Berjejernya pulau-pulau dan beragam destinasi wisata bahari, membuat kepulauan ini semakin mengagumkan dan eksotis dipandang mata.
Hamparan pasir putih nan berkilau tampak terbentang di sepanjang Pulau Hatta dan Ay. Gunung Ganapus menjulang tinggi, dengan pemandangan awan bergumul serta lautan biru yang maha luas, bak lukisan indah mengenai sebuah pulau di lintasan zamrud khatulistiwa.
Panorama menarik lainnya, ketika kapal-kapal nelayan dan speedboad melabuhkan diri dalam teluk Banda Neira, terlihat sangat asri, apalagi kalau dipandang dari puncak Benteng Belgica, yang letaknya di posisi ketinggian.
Tidak saja sampai di situ, di Kepulauan Banda ini juga kaya akan potensi biota laut yang melimpah seperti, lola, teripang, lobster, dan siput batu laga.
Namun, terlepas dari gambaran indah, ada perlakuan tidak menyenangkan yang dirasakan warga pesisir di Desa Tanah Rata, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Pada Minggu (15/11) pagi, sekira pukul 08.35 WIT, duduk pria tua, namanya Laoke (59), warga Desa Tanah Rata. Menggunakan kaos singlet putih dan celana pendek biru muda, ia duduk dekat sebuah perahu ukuran sedang, sembari menatap jauh ke arah laut.
Laoke resah karena dulunya pesisir pantai di Desa Tanah Rata, sangat indah dan terawat. Kini hal itu tinggal kenangan karena pasir yang dulu berlimpah di desanya telah terkuras habis. Warga sewenang-wenang datang dan mengeruknya tanpa pikir dampak buruk kemudian hari.
Laoke mengeluhkan aktivitas penambangan yang dilakukan masyarakat di desanya. Dia bilang, meski sudah sering kali memasang papan larangan, namun warga tetap saja mengeruk pasir.
Pengerukan pasir membuat ombak sering masuk ke rumahnya. Ia juga menyesalkan masih adanya warga yang sama sekali tidak punya kesadaran, padahal Pemerintah Desa juga sudah sering melarang.
Baca juga: Pemprov Maluku usul Pulau Banda masuk proyek strategis nasional
Dia mengungkapkan, pihak yang kerap mengeruk pasir adalah warga yang tinggal di daratan tinggi. Mereka dinilai sama sekali tidak memikirkan nasib warga yang tinggal di pesisir pantai.
“Alibi mereka, kalau tidak pakai pasir, lalu mau bangun rumah dengan bahan dasar yang mana,” kata dia meniru.
Sementara Syamsudin, warga pesisir juga mengakui hal sama. Ironinya, kata dia, papan larangan yang dipasang warga di pesisir, dirobohkan oleh masyarakat yang datang mengeruk pasir. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Dia juga menyesali pembangun talud penahan ombak di perkampungan mereka. Pasalnya, bangunan itu dikerjakan menggunakan pasir yang ada di sepanjang Desa Tanah Rata.
“Ya, kita tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah saja. Padahal sudah ada sosialisasi dan larangan dari Pemerintah Desa, namun warga tetap saja abai,” ungkapnya.
Observasi yang dilakukan sejumlah pihak di Kepulauan Banda menemukan banyak sekali perilaku manusia yang mulai bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan di sana. Misalnya, pengerukan pasir tanpa standar atau peraturan desa, juga pencemaran sampah plastik.
Aktivitas pengerukan pasir pada beberapa wilayah di Kepulauan Banda sangat mencemaskan, karena tidak saja berdampak kepada abrasi atau pengikisan pantai. Lebih dari itu, mengancam proses perkembangbiakan biota laut di sana, seperti penyu dan lainnya.
Bahkan akibat pengerukan pasir berlebihan, sejumlah ekosistem seperti ladang lamun, terumbu karang dan mangrove mengalami kerusakan. Banyak biota laut juga ikut menghilang. Konon, ikan-ikan kecil sudah jarang ditemukan di perairan sekitar.
Dampak paling besar akibat aktivitas pengerukan pasir itu dirasakan oleh masyarakat pesisir di Desa Tanah Rata. Mereka mengeluh. Pasalnya, gelombang laut menghantam pemukiman mereka. Air masuk hingga ke dalam pemukiman warga.
Menyikapi kondisi tersebut, Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda membuat program rumah bambu sebagai strategi sekaligus solusi untuk menyelamatkan pasir, pesisir pantai dan biota laut di Kepulauan Banda, dari berbagai ancaman dan kejahatan lingkungan.
Koordinator TWP Laut Banda, Julham Mochtar Sabit Pelupessy menjelaskan, program rumah bambu yang saat ini dibangun menjadi visi besar, untuk mengantisipasi penambangan pasir secara berlebihan. Program tersebut juga ingin mengembalikan kearifan lokal yang hilang sejak ratusan tahun.
Biasanya, kata dia, bambu hanya dijadikan sebagai alat pengait buah pala, juga kursi dan meja. Namun dari beberapa pengetahuan yang didapat, bambu memiliki manfaat besar, termasuk untuk material rumah.
Dengan demikian, TWP Laut Banda berinisiatif menjadikan bambu sebagai material dan bahan dasar rumah untuk menyelamatkan pasir, kawasan pesisir dan biota laut, dari ancaman dan keserakahan manusia.
“Pasir jika diambil tidak akan balik lagi, dan fakta itu terjadi di Desa Tanah Rata, yang sudah mengalami abrasi fatal. Dulu ada pasir panjang. Jadi sepanjang itu pasir semua, sekarang kosong,” katanya.
Pada tahun 2018 lalu, mereka menemukan beberapa ekor penyu yang terlihat kesulitan saat bertelur. Penyu-penyu itu, kata dia, akhirnya menggali tanah untuk bertelur, lantaran pasir di kawasan Tanah Rata terkuras habis. Beberapa anak penyu dan telur lalu diselamatkan ke tempat lain, agar tetap bertahan hidup.
Baca juga: BNPB : biota laut mati di Tanimbar tidak terkait gempa
Sudah dilarang
Pelupessy mengatakan, pengerukan atau aktivitas penambangan pasir oleh masyarakat di Tanah Rata, masih terjadi, meskipun sudah berkali-kali dilarang Pemerintah Desa setempat. Fatalnya lagi, masih ada pengerukan pasir untuk pembangunan proyek.
Dia menginginkan masyarakat menggunakan pasir secara baik. Misalnya, kata dia, pasir bisa diambil tapi ada batasan pengambilan.
TWP Laut Banda sudah mendatangkan ahli untuk mengecek pasir pada beberapa lokasi di sana. “Mereka sudah lihat, dan katanya susah untuk pasir naik lagi ke pesisir. Karena tipe topografi Banda itu drop off atau turun langsung dalam, makanya susah untuk pasir naik lagi,” katanya.
Dampak lainnya adalah kawasan padang atau lading lamun yang di tempati bermacam-macam biota laut mulai terancam seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Fakta lain yang ditemukan di Desa Biyau, Walang dan Lontor, pengerukan pasir dilakukan menggunakan mesin sedot. Ada juga yang mengambil pasir tanusang (bahasa lokal Maluku), yang di situ terdapat ekosistem ladang lamun.
Dampak penambangan pasir cukup besar itu terjadi pada tiga ekosistem, yakni lamun, mangrove dan terumbu karang. Ini yang dikhawatirkan, karena di ekosistem-ekosistem itu tempat biota-biota laut berkembang biak. Mulai dari tempat untuk mencari makan hingga lokasi bertelur.
“Ketika ekosistem-ekosistem ini rusak, ikan-ikan akan semakin jauh. Dulu, siapa yang tidak kenal ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Banda? Sekarang jarang, dan itu berdampak dari degradasi ekosistem terumbu karang, akibat pengerukan pasir,” katanya.
Baca juga: Masyarakat Sampit keluhkan pengerukan pasir
Akibat ekosistem rusak, lanjut dia, ikan-ikan kecil yang jadi pakan ikan besar ikut mati. Dampaknya, ikan besar hilang seperti cakalang atau dalam bahasa Inggrisnya skipjack tuna harus mencari habitat lain untuk bertahan hidup.
Menurutnya, konservasi adalah hal penting yang harus jadi tanggung jawab semua elemen masyarakat karena itu harus ada kegiatan penyadartahuan terkait manfaat konservasi. Untuk mengantisipasi bahaya lain, saat ini TWP Laut Banda sedang membuat prorgam Konservasi Goes to School, yang tujuannya menyasar anak usia dini.
TWP sudah berjalan dengan program sosialisasi konservasi bertajuk Goes to School sejak 2019 lalu. Sosialisasi itu, sesuai Namanya, lebih menyasar kepada anak-anak sekolah, dan menyadarkan tentang bagaimana menjaga ekosistem terumbu karang, dan juga menjaga pesisir pantai.
Kepala Desa Tanah Rata Fitra Ladjaharia menyatakan, setelah mengikuti salah satu pelatihan yang digelar TWP Laut Banda, dirinya mengakui memang konsep rumah bambu sangat bagus dan penting untuk diprogramkan di Kepulauan Banda.
“Waktu itu TWP mendatangkan salah satu ahli rumah bambu dari Yogyakarta. Jadi konstruksi bangunan rumah bambu yang dijelaskan, sangat baik dan menarik,” katanya.
Kearifan lokal
Setelah pelatihan, kata dia, Pemerintah Desa mengajak orang Yogyakarta itu datang ke Tanah Rata. Langkah ini diambil, karena Pemerintah Desa setempat ingin mengembalikan kehormatan dan kearifan lokal orang tua zaman dulu, sekaligus mengajak masyarakat mengenal manfaat bambu sebagai bahan dasar rumah.
Sebagai contoh, Pemerintah Desa membuat rumah bambu yang hasilnya sangat memuaskan. Kini rumah bambu itu sudah dijadikan perpustakaan untuk anak-anak belajar bahasa inggris dan program mengaji ibu-ibu.
Ladjaharia mengungkap, rumah bambu yang dibangun, dibiayai dengan anggaran desa tahun 2019. Untuk melancarkan program tersebut, Pemerintah Desa terus melakukan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat setempat agar mengurangi aktivitas penambangan pasir di pantai.
Saat ini, kata Ladjaharia, ada beberapa titik di Tanah Rata yang sudah dijadikan sebagai lokasi konservasi pasir pantai. Ia mengakui, untuk mengajak masyarakat agar tidak mengeruk pasir butuh waktu lama, karena butuh kesadaran secara konsisten dari seluruh masyarakat.
Sebagai tindak lanjut dari program rumah bambu, Pemerintah Desa telah berinisiatif untuk membentuk peraturan desa. Namun mereka harus meminta persetujuan dari berbagai pihak termasuk, masyarakat yang hidup di kawasan pesisir Desa Tanah Rata.
Perda itu dinilai sangat diperlukan mengingat keresahan warga pesisir yang terdampak langsung, yaitu bila ombak naik langsung mengikis pantai dan masuk ke pemukiman warga.
Pemerintah Desa saat ini membutuhkan dukungan penuh dari semua pihak, termasuk TWP Laut Banda. Pasalnya, kalau aktivitas penambangan terus dilakukan, nilai kerugian akan sangat besar karena terjadi kerusakan terhadap jalan dan rumah-rumah warga, serta berdampak buruk terhadap ekonomi.
Baca juga: DLH Malra: Penambangan pasir pantai ancam kelestarian lingkungan
Baca juga: Puluhan rumah di Kabupaten Pulau Morotai terancam abrasi pantai
Pewarta: Nurdin Tubaka *)
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020