"Hari Ibu adalah peringatan Kongres Perempuan I 22 Desember 1928 di Yogyakarta di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Tahun yang sama dengan pelaksanaan Sumpah Pemuda," kata Giwo dalam seminar daring dalam rangka Hari Ibu yang diikuti dari Jakarta, Jumat.
Giwo mengatakan pengorbanan para perempuan dalam menyelenggarakan Kongres Perempuan I sangat luar biasa. Tidak hanya materi saja yang dikorbankan, tetapi juga jiwa raga.
Baca juga: Menteri PPPA: Perempuan bagian pergerakan nasional
Saat itu, para perempuan dari berbagai daerah dihalang-halangi pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat ke Yogyakarta menggunakan kereta api. Mereka kemudian berbaring di bantalan kereta api sebagai bentuk protes, yang tentu saja menghalangi perjalanan kereta api lainnya.
"Mereka tidur di bantalan kereta sampai kemudian diizinkan pergi ke Yogyakarta," ujarnya.
Giwo mengatakan Hari Ibu harus dimaknai sebagai momentum untuk menggiatkan peran penting perempuan dalam mengisi pembangunan. Hari Ibu menjadi pengingat bahwa perempuan bukan hanya penikmat dan pengisi kemerdekaan, tetapi juga berjuang meraih kemerdekaan.
Kongres Perempuan I diprakarsai oleh tujuh organisasi perempuan pada saat itu, yaitu Wanito Utomo, Aisyiyah, Putri Indonesia, Wanita Taman Siswa, Wanito Katholik, Jong Islamieten Bond, dan Jong Java Meisjeskring.
Baca juga: Menteri PPPA: Peran perempuan adat diakui secara global
"Organisasi-organisasi itu tidak hanya menyuarakan kemerdekaan, tetapi juga telah menggugat praktik perkawinan anak, salah satunya Putri Indonesia. Saat itu, banyak anak perempuan yang harus keluar dari sekolah karena dikawinkan pada usia 11 tahun," tuturnya.
Giwo mengatakan isu perkawinan anak yang disuarakan organisasi perempuan saat itu masih relevan dan terus diperjuangkan hingga saat ini.
Baca juga: Menteri PPPA: Konstruksi sosial yang rugikan perempuan harus dihapus
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020