Ekosistem mangrove di Pulau Enggano komplet karena masih terurus dengan baik, jarang ada pulau di Indonesia yang ekosistemnya lengkap seperti ini
Malam itu suasana laut hening dan ikan-ikan tak menyahut pada kail maupun jaring yang dipasang para pencari ikan.
Hingga saat ini tak ada yang tahu kapan bakal terjadi gempa Bumi. Begitu juga warga Pulau Enggano Provinsi Bengkulu pada 2000.
Mereka tak menyadari akan terjadi petaka berupa gempa Bumi dengan magnitudo 7,3 yang meluluhlantakkan bangunan, berpusat di Samudera Indonesia, dekat Pulau Enggano pada 4 Juni 2000, pukul 23.28 WIB.
Firdaus Kauno (53), kala itu sedang memancing di dermaga Desa Malakoni, Pulau Enggano. Sejak pukul 20.30 WIB hingga tengah malam, dia tak kunjung berhasil mendapatkan ikan.
Keanehan serupa juga dirasakan Sapuan Kaarubi (59). Malam itu, ia mencari ikan di perairan dekat rumah bersama anaknya yang berusia 14 tahun.
Air laut keruh dan arus mengalir kuat ke arah barat. Sapuan dan anaknya memutuskan pulang ke rumah karena tak mendapatkan ikan, padahal mereka sudah hampir dua jam melaut.
Alam seolah memberi tanda kepada para penghuninya untuk menjauhi laut, namun manusia masih belum mengerti pesan tersirat hingga akhirnya bencana pun terjadi.
Gempa yang mengguncang saat tengah malam itu, menewaskan 94 orang, lebih dari 1.000 orang luka-luka, dan sedikitnya 15.000 rumah rusak berat di wilayah Provinsi Bengkulu.
Dentuman keras
Sesaat sebelum gempa tektonik, terdengar dentuman keras seperti bom dari arah tenggara Desa Malakoni yang berpenghuni. Setelah itu, hening seketika, suara makhluk hidup tak terdengar.
"Sesaat setelah dentuman datang gempa. Kami seperti kacang goreng di atas dermaga pontang-panting, (gempa, red.) berhenti sebentar, lalu berulang lagi guncangannya," kata Firdaus saat ditemui di rumahnya di Desa Malakoni, Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu, pada awal Desember 2020.
Baca juga: Warga Bengkulu pantau air laut pascagempa magnitudo 7,4
Guncangan gempa membuat dermaga kapal perintis rubuh berkeping-keping dan tenggelam ke dasar laut.
Tiang lampu dermaga melengkung seperti joran pancing yang ditarik ikan. Debu reruntuhan membumbung ke udara membatasi jarak pandang.
Beruntung bagian dermaga yang ditempati Firdaus memancing tak ikut roboh. Dia kemudian berenang ke arah pantai menjauhi laut.
Jarak ujung dermaga ke pantai sekitar 200 meter. Setelah berenang cukup lama, Firdaus kemudian berhasil mendekati pantai dan berjalan kaki ke permukaan.
Dia merasakan kondisi laut menyusut, lalu disusul suara gemuruh dari gesekan air dengan terumbu karang.
Di tempat lain, pemukiman, Sapuan Kaarubi melihat rumah panggungnya rubuh akibat tiang tak kuat menahan gempa. Dia juga mendengar suara gemuruh air laut persis seperti guntur.
Tak berselang lama, air laut yang menyusut itu kemudian mengentak ke daratan. Kawasan Sebalik Pulau yang berhadapan dengan lokasi gempa dihantam gelombang tinggi.
Keramba apung ikan napoleon mendarat ke hutan mangrove dan perahu berlumuran lumpur sedimentasi. Beruntung tak ada korban jiwa di Pulau Enggano.
Baca juga: Pulau Enggano kembali diteliti tim Balai Arkeologi Sumsel
Warga tak mengetahui angka pasti ketinggian gelombang tsunami, karena kawasan Sebalik Pulau adalah hutan lindung yang tak boleh ada pemukiman.
Namun letak keramba apung yang semestinya berada di laut, kemudian terempas ke daratan hingga tertambat di pohon mangrove merupakan saksi tsunami kala itu.
Rumah hancur
Gempa tektonik pada 4 Juni 2000, menyisakan ketakutan warga Pulau Enggano, meski tak ada korban jiwa, banyak rumah hancur karena tak kuat menahan guncangan.
Kepala Desa Malakoni Tedy Sunardi menjelaskan 75 persen dari total rumah warga hancur karena sebagian besar dibangun dari coran berbahan material koral, pasir, dan semen.
Rumah yang tak hancur sebagian besar bersifat semi permanen berbahan kayu dan geribik bambu. Belajar dari peristiwa gempa itu, warga kemudian berpikir untuk membangun rumah yang kokoh dan tahan gempa.
Ketersediaan bahan baku kayu dan bambu yang melimpah dari hutan Enggano dimanfaatkan warga untuk membangun rumah tahan gempa.
Pembangunan rumah geribik bambu tipe 36 hanya memerlukan dana Rp30 juta, sedangkan rumah beton bertipe sama perlu dana hingga dua kali lipat.
Rumah geribik bambu dari luar tampak serupa rumah beton, jika ditelisik lebih dalam ada perbedaan mencolok.
Dinding rumah tersusun atas empat material, yaitu kayu yang berfungsi sebagai tulang bangunan, geribik bambu, dan kawat sebagai penahan, lalu coran.
Bagian bawah dinding yang sebelumnya telah dipasang kayu sebagai penyanggah dicor terlebih dulu, kemudian geribik bambu dengan kawat dipasang pada bagian atas. Setelah itu, dinding geribik dilapisi adonan pasir dan semen.
Rumah gribig telah teruji tahan gempa, karena ada penahan bambu dan kawat. Ketika gempa tahun 2000, rumah gribig dan kayu tetap berdiri kokoh di tanah Enggano.
"Rumah geribik hanya retak dan tak akan sampai hancur seperti rumah beton. Penanganan mudah cukup dilapisi plamir tembok langsung mulus," kata Rukhiyat, pekerja bangunan di Enggano.
Baca juga: Lanal Bengkulu gelar ekspedisi Pulau Enggano
Belajar dari musibah gempa tektonik pada 2000, kini warga membangun rumah semi permanen berbahan geribik dan kayu. Adapun hunian yang dibangun dari bantuan pemerintah melalui program bedah rumah justru memakai batako.
Warga Enggano menyayangkan bantuan bedah rumah karena dinilai tak tahan gempa. Berkaca dari pengalaman satu dekade silam, pemerintah seharusnya membangun rumah dengan kearifan lokal karena sudah teruji mampu melindungi warga.
Ekosistem pesisir sempurna
Kepala Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu Zamdial Ta'alidin mengatakan perairan Pulau Enggano memiliki ekosistem pesisir yang sempurna karena wilayah darat ditumbuhi hutan mangrove, pantai dipenuhi padang lamun, dan lepas pantai diselimuti atol yang familier disebut pulau karang.
Kondisi ini membuat Pulau Enggano tak hanya kaya beragam jenis ikan, namun juga terlindungi dari ancaman abrasi hingga tsunami yang merusak daratan.
"Ekosistem mangrove di Pulau Enggano komplet karena masih terurus dengan baik, jarang ada pulau di Indonesia yang ekosistemnya lengkap seperti ini," kata dia.
Universitas Bengkulu melalui program studi kehutanan telah melakukan penelitian terkait dengan daya dukung optimal Pulau Enggano.
Hasil penelitian itu dipagar dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku --melalui peraturan desa (perdes)-- guna melindungi ekosistem pesisir dari kegiatan perambahan dan penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan.
Dari pulau seluas 400,6 kilometer persegi di lautan lepas Samudera Indonesia, sebelah barat daya Pulau Sumatera, Enggano tak hanya menyimpan segudang potensi maritim, namun juga bahaya.
Mitigasi diperlukan untuk menjaga pulau dari ancaman bencana.
Merawat dan menjaga hutan mangrove, padang lamun, serta terumbu karang tak hanya baik untuk masa depan pangan dan ekowisata, akan tetapi juga mampu menjaga pulau agar selalu terlindungi dengan baik.
"Ya'uwaika!", yang artinya salam sejahtera selalu dalam bahasa masyarakat Pulau Enggano.
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya riset tentang rumah tahan gempa
Baca juga: Membumikan arsitektur tanggap bencana
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020