Pertemuan itu menjadi upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang bisa merusak kesepakatan untuk mengakhiri konflik.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan dan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev tidak berjabat tangan, hanya bertukar salam secara singkat saat mereka duduk di meja oval di seberang Putin.
Dalam pidato pembukaan di Kremlin, Putin mengatakan kesepakatan gencatan senjata pada November 2020, yang membuat Moskow mengerahkan penjaga perdamaian ke wilayah tersebut, sedang dilaksanakan.
Kesepakatan gencatan senjata itu memicu protes di Yerevan --ibu kota Armenia-- terhadap PM Pashinyan, yang dituduh oleh para pengunjuk rasa telah bersikap ceroboh dalam perang.
Sejak itu, Pashinyan menghadapi tekanan dari lawan untuk mengundurkan diri --tuntutan yang ia tolak.
Sementara itu, Aliyev telah menganggap menang perang di wilayahnya, yang menurutnya merupakan pembenaran sejarah yang salah. Armenia menolak klaim itu.
Aliyev juga pada Desember mengadakan parade kemenangan dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan.
Bagi Rusia, konflik tersebut menyoroti peningkatan pengaruh Turki --sekutu Azerbaijan di Kaukasus Selatan, bagian dari bekas Uni Soviet yang secara tradisional dianggap Moskow sebagai wilayah di bawah pengaruhnya.
Dengan menjadi perantara kesepakatan dan menghadirkan pasukan penjaga perdamaian Rusia di lapangan, Putin untuk saat ini berhasil menghadang kehadiran Turki yang lebih kuat sambil memperluas jejak militer Moskow sendiri.
Dmitry Trenin, seorang analis politik untuk Moscow Carnegie Center, mengatakan Kremlin berharap pembicaraan pada Senin akan memungkinkan Rusia untuk menegaskan kembali pengaruhnya di wilayah tersebut.
"Fungsi penjaga perdamaian adalah keuntungan Moskow dalam hubungan kompetitifnya dengan Ankara," tulis Trenin di Twitter.
Perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Rusia pada November sempat menghentikan konflik selama enam minggu antara pasukan Azerbaijan dan pasukan etnis Armenia di daerah kantong pegunungan dan sekitarnya.
Namun, ketegangan tetap membayangi. Pertempuran masih terjadi secara sporadis, kedua pihak saling menahan tawanan perang, dan kedua negara tidak sepakat soal bagaimana koridor transportasi baru yang prospektif dan melintasi Nagorno-Karabakh akan berjalan.
Daerah kantong itu diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Tetapi, etnis Armenia dan Azerbaijan menganggap Nagorno-Karabakh sebagai bagian dari tanah air mereka yang bersejarah.
Kedua pihak berperang jauh lebih sengit pada tahun 1990-an hingga menyebabkan puluhan ribu orang tewas.
Sumber: Reuters
Pewarta: Tia Mutiasari
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021