Gagasan revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno dalam Pidato Kenegaraan pada tanggal 17 Agustus 1956.Ciptakan 'islands of integrity' yang betul-betul dapat dirunut dan diukur tingkat capaian keberhasilannya secara sistematis dan komprehensif.
Saat itu Presiden Soekarno mengatakan, "Dalam kehidupan sehari-hari, praktik revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala."
Presiden Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai.
Berselang 49 tahun kemudian, Joko Widodo dalam kampanyenya menuju kursi Presiden RI pada tahun 2014 juga mengangkat jargon revolusi mental. Tujuannya adalah agar kehidupan bangsa Indonesia mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Baca juga: Rektor IPB: Growth mindset salah satu solusi gerakan revolusi mental
Saat Jokowi terpilih sebagai presiden ke-7 RI, ia pun menuangkan gagasan revolusi mental itu dalam 9 agenda prioritas di Nawa Cita, bahkan menjadikannya sebagai norma hukum melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Dalam inpres tersebut disebutkan bahwa gerakan revolusi mental bertujuan memperbaiki dan membangun karakter bangsa Indonesia untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dengan mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Meski tidak dideklarasikan secara tersurat dalam Nawa Cita dan Inpres GNRM, gerakan antikorupsi secara implisit, bahkan sebenarnya merupakan bagian inti revolusi mental.
Nilai integritas berdasar Pancasila yang ada dalam gerakan revolusi mental merupakan nilai yang terkandung dalam gerakan antikorupsi. Oleh karena itu, lima gerakan revolusi mental (Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu) harus berlandasan kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip antikorupsi.
KPK sebagai aparat penegak hukum yang menjadi pelaku utama pemberantasan korupsi di Indonesia juga ikut ambil bagian dalam revolusi mental tersebut secara khusus dengan melakukan pendidikan antikorupsi.
Baca juga: Kemenko PMK sebut enam hambatan revolusi mental di Indonesia
Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan antikorupsi memang tidak banyak mendapat sorotan seperti kegiatan-kegiatan penindakan KPK, misalnya operasi tangkap tangan (OTT) atau penetapan tersangka atau bahkan persidangan di pengadilan, tetapi pendidikan antikorupsi menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan KPK untuk mencapai pemberantasan korupsi.
Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK Dian Novianthi mengatakan bahwa usia efektif internalisasi nilai-nilai moral terhadap seseorang adalah saat anak masih berusia 4—9 tahun.
Lebih lanjut, untuk membentuk moral dan karakter tersebut tidak cukup hanya mengajarkan mana yang benar dan salah kepada anak, tetapi harus menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga anak itu mau melakukan yang baik.
Dalam melakukan upaya pendidikan antikorupsi khususnya bagi anak usia dini, KPK sudah menyiapkan sejumlah program antara lain:
Pertama, menyiapkan media pembelajaran antikorupsi yang sesuai dengan kebutuhan anak usia dini, mulai dari buku bacaan, film, lagu, hingga board game.
Buku dongeng Peternakan Kakek Tulus merupakan buku pertama bagi anak yang diterbitkan KPK pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2012 KPK berkolaborasi dengan Forum Penulis Bacaan Anak (FTBA) membuat karakter si Kumbi sebagai ikon antikorupsi untuk anak-anak.
Si Kumbi digunakan sebagai ikon antikorupsi untuk anak berusia 4—9 tahun (PAUD—SD Kelas 3).
Karakter si Kumbi hadir dalam buku bacaan Seri Tunas Integritas dan Si Kumbi Anak Jujur, sementara jenjang berikutnya anak berusia 9—12 tahun (SD kelas 4—6), KPK mengembangkan karakter Sahabat Pemberani dalam bentuk film, kuartet, board game, lagu, dan senam.
Baca juga: KPK latih 2.114 akademisi tingkatkan kapasitas pendidikan antikorupsi
Kedua, KPK melatih guru dan komunitas menggunakan panduan penggunaan media pembelajaran tersebut yang dapat digunakan oleh guru, komunitas, dan orang tua dalam mengajarkan pendidikan antikorupsi.
Ketiga, KPK mendorong keterlibatan publik dalam implementasi pendidikan antikorupsi sejak dini.
Menurut Direktur Jejaring Pendidikan Aida Ratna Zulaiha, KPK menyadari bahwa program pendidikan antikorupsi untuk usia dini tidak bisa hanya dilakukan sendiri KPK.
KPK memerlukan keterlibatan masyarakat sehingga program-program pendidikan antikorupsi menjadi sebuah gerakan. Jalur yang digunakan pun tidak hanya melalui pembelajaran sekolah, tetapi juga jalur-jalur lainnya, seperti masyarakat, keluarga, dan media.
Untuk jalur sekolah, KPK melatih guru PAUD untuk menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah dengan menggunakan media pembelajaran yang dikembangkan KPK.
Untuk jalur keluarga, KPK melakukan kajian dan penelitian Pencegahan Korupsi Berbasis Keluarga dengan proyek percontohan dilakukan di Kampung Prenggan, Kotagede, Yogyakarta pada tahun 2014.
Untuk jalur masyarakat, dilakukan melalui Taman Bacaan Masyarakat bernama Taman Literasi Integritas (Tali Integritas). Para penggiat literasi menerapkan pendidikan antikorupsi menggunakan media pembelajaran yang dikembangkan KPK melalui kegiatan literasi, seperti membaca, mendongeng, bermain, dan menonton film.
Terakhir melalui jalur media, khususnya pada era pandemi, KPK bekerja sama dengan TVRI menayangkan film Si Kumbi Anak Jujur dalam Program Belajar di Rumah.
Baca juga: Pakar : Pendidikan antikorupsi cegah perbuatan korupsi
Dalam mengerjakan pendidikan antikorupsi usia dini tersebut sejumlah tantangan yang dihadapi adalah kebijakan program pendidikan dasar saat ini berada di bawah pemerintah daerah secara otonom. Akibatnya, penyebaran pendidikan antikorupsi yang masif dalam bentuk kebijakan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masing-masing kepala daerah untuk berpihak pada pendidikan antikorupsi usia dini.
Tantangan lainnya adalah masih terbatasnya monitoring, evaluasi, dan dampak penyebaran program dilakukan oleh KPK.
"KPK menyadari bahwa program-program yang sudah dilakukan masih terbatas, belum menjangkau seluruh wilayah di Indonesia (masih percontohan), belum masif, belum berkelanjutan, serta belum dilakukan monitoring dan evaluasi secara sistematis dan komprehensif," kata Aida.
Hal tersebut terjadi, menurut Aida, karena keterbatasan SDM KPK dan prioritas program pencegahan antikorupsi.
KPK mencatat adanya peningkatan jumlah aktivitas pendidikan antikorupsi untuk anak usia dini yang dilakukan komunitas antikorupsi dan pemangku kepentingan lain baik menggunakan media pembelajaran yang dikembangkan KPK maupun media pembelajaran antikorupsi yang dikembangkan masyarakat.
Hal lain yang menarik, menurut Dian, adalah kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan kampanye di media sosial. Hal-hal tersebut menunjukkan adanya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan antikorupsi sejak dini.
Aktivitas-aktivitas tersebut diharapkan berdampak kepada terbentuknya karakter antikorupsi.
Baca juga: KPK: Baru 127 pemda implementasikan pendidikan antikorupsi di sekolah
Namun, hal tersebut bergantung juga pada lingkungan sekitar anak-anak. Jika praktik-praktik korupsi masih ada, misalnya di tengah keluarga, sekolah, dan masyarakat, bisa jadi karakter yang sudah ditumbuhkan akan kembali layu.
Untuk itu, program pendidikan antikorupsi usia dini perlu diiringi dengan pendidikan antikorupsi kepada orang tua, guru, dan masyarakat serta perbaikan tata kelola pendidikan karena pendidikan yang paling berdampak adalah pendidikan melalui contoh dan keteladanan.
Selanjutnya, dengan adanya struktur baru di KPK berdasarkan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Ortaka) yang membentuk kedeputian baru khusus untuk mengurus masalah pendidikan antikorupsi di bawah Deputi Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Dian menilai program-program percontohan yang sudah dirintis akan menjadi program prioritas untuk dikembangkan dan diduplikasi secara masif.
KPK pun nantinya diharapkan dapat lebih gencar melakukan sosialisasi dan kampanye pendidikan antikorupsi usia dini melalui Direktorat Sosialisasi dan Kampanye, kerja sama dengan kementerian terkait misalnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan pemerintah daerah agar penyemaian nilai-nilai antikorupsi sejak dini dan tata kelola terimplementasi di setiap jejaring pendidikan. Kegiatan ini dilakukan oleh Direktorat Jejaring Pendidikan.
Baca juga: 367 SMA di Jateng akan terapkan kurikulum pendidikan antikorupsi
Masih ada juga Direktorat Peran Serta Masyarakat yang melakukan perluasan keterlibatan masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat dan aksi kolaborasi, kemudian Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi yang melakukan peningkatan kompetensi para pihak yang terlibat dalam pendidikan antikorupsi sejak dini (guru, orang tua, dan penggiat komunitas) melalui beragam program diklat tematik dan sertifikasi penyuluh antikorupsi.
Dengan program terintegrasi tersebut, bakal terjadi akselarasi aksi kolaborasi dan kolektif setiap pemangku kepentingan untuk menciptakan islands of integrity yang betul-betul dapat dirunut dan diukur tingkat capaian keberhasilannya secara sistematis dan komprehensif.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021