Metode ini terbilang mudah diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD
Peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan metode rekristalisasi yang dapat menjadi solusi daur ulang sampah medis infeksius.
“Semenjak masa pandemi, penggunaan masker medis pada masyarakat umum semakin meningkat, sehingga perlu antisipasi terhadap limbah masker medis,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Haryono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Di tengah upaya memerangi pandemi COVID-19, masyarakat kini dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu isu pencemaran lingkungan akibat meningkatnya sampah medis penanganan penyakit tersebut.
Baca juga: LSM minta pemerintah awasi pengelolaan limbah medis selama COVID-19
Selama pandemi, plastik banyak digunakan sebagai bahan baku APD (alat pelindung diri) berupa masker kesehatan, tutup kepala, sarung tangan dan sebagainya.
Hal itu menyebabkan peningkatan sampah plastik di lingkungan yang berpotensi meningkatkan mikroplastik di perairan dan laut.
Agus menyebut saat ini Pusat Penelitian Kimia LIPI telah mengembangkan berbagai metode untuk mendaur ulang masker medis, dengan metode kristalisasi.
“Metode ini terbilang mudah diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD seperti polipropilena, polietilena, polistirena, maupun polivinil klorida. Kualitas produk hasil daur ulang terjamin tetap tinggi, karena tidak terdegradasi oleh pemanasan,” ujar Agus.
Baca juga: DLH Lampung catat sampah COVID-19 per September capai 2 ton
Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Suhendra mengungkapkan, bahan sampah medis yang sangat ringan karena mengandung lebih dari satu bahan plastik atau polimer sulit didaur ulang ,dengan minimnya metode daur ulang yang ada.
Menurut dia, metode pengolahan sampah plastik yang ada selama ini meliputi pembakaran daur ulang dengan cara pelelehan kembali untuk membentuk granula atau pelet.
Metode ini pun, menurut Sunit, terkendala proses pengumpulan dan pra pemilahan yang tidak mudah, serta kemungkinan persyaratan sterilisasi sebelum dilakukan langkah-langkah pendaur-ulangan.
“Metode kristalisasi memungkinkan terjadinya degradasi yang sangat rendah karena tidak adanya shear dan stress seperti pada proses daur ulang biasa. Hal ini menghasilkan plastik kristal yang dapat digunakan lagi dengan kualitas sangat baik,” kata Sunit.
Baca juga: KLHK beri diskresi insinerator RS belum berizin atasi limbah COVID-19
Sunit menjabarkan bahwa selain dapat diterapkan pada hampir semua jenis plastik seperti Polyethylene (PE), Polypropylene (PP), Polyvinyl Chloride (PVC), Polystyrene (PS), metode kristalisasi juga memiliki banyak keunggulan.
Keunggulan menggunakan metode kristalisasi ini antara lain menghasilkan plastik daur ulang berupa serbuk, minim kerusakan struktur dan memiliki kemurnian produk daur ulang yang tinggi sehingga dapat digunakan lagi untuk keperluan yang sama, serta dapat dikembangkan sehingga sterilisasinya dapat dilakukan in-situ dalam rangkaian proses daur ulang.
“Tahapan-tahapan dalam proses daur ulang plastik medis dengan rekristalisasi ini meliputi pemotongan plastik bila diperlukan, pelarutan plastik, pengendapan pada antipelarut, dan penyaringan sehingga diperoleh suatu plastik murni tanpa degradasi yang memiliki manfaat/fungsi dapat digunakan lagi sebagai plastik untuk tujuan medis dengan kualitas yang serupa,” kata Sunit.
Lebih lanjut Sunit berharap hasil penelitian yang telah terdaftar dalam paten itu (Nomor P00202010633) dapat diterapkan dan berguna dalam menyelesaikan masalah sampah medis akibat pandemi yang tengah terjadi.
Baca juga: KLHK catat peningkatan 30-50 persen limbah medis saat pandemi
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021