Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti menyarankan DPR memperkecil alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil) untuk menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen karena lebih efektif daripada meningkatkan ambang batas parlemen, yang diatur dalam RUU Pemilu.
"Hal yang tidak terbantahkan di seluruh dunia adalah untuk mengurangi parpol di DPR maka kurangi alokasi kursi per dapil. Kalau mau menambah parpol seperti di Pemilu 1999 maka perbanyak kursi per dapil," kata Ramlan secara virtual dalam Rapat Harmonisasi RUU Pemilu Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Pimpinan Baleg: Revisi UU Pemilu agenda krusial DPR 2021
Dia mengatakan, ambang batas parlemen tujuannya adalah mengurangi jumlah parpol di DPR namun selama tiga kali pelaksanaan pemilu, langkah itu tidak berhasil karena jumlah partai sebanyak 9 hingga 10.
Menurut dia, tujuan penyederhanaan parpol tidak tercapai namun banyak "memakan korban" yaitu banyak suara sah tidak dihitung sebagai kursi misalnya di Pemilu 2009 sebanyak 19 juta suara, di Pemilu 2014 berjumlah lebih dari 2 juta suara, dan di Pemilu 2019 sebanyak 13 juta suara.
"Kalau mengurangi jumlah partai di DPR dengan menggunakan ambang batas parlemen, anda semua tahu kalau itu tidak mungkin. Di Turki ambang batas parlemen dibuat 10 persen untuk mencegah Partai Kurdistan masuk parlemen namun upaya itu gagal dalam dua kali pemilu karena partai tersebut memperoleh lebih dari 10 persen," ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR: 6 isu krusial di RUU Pemilu perlu dimatangkan
Ramlah yakin kalau alokasi kursi per dapil dikurangi misalnya menjadi 3-6, maka sistem pemilu yang sederhana akan tercapai yaitu dengan keberadaan 5-6 parpol di DPR RI.
Menurut dia, parpol yang tidak masuk parlemen harus membangun kepercayaan rakyat sehingga ketika pemilu digelar, akan ada persaingan atau kompetisi dari masing-masing partai untuk memperoleh suara.
"Bapak dan ibu anggota DPR tahu ini (memperkecil alokasi kursi per dapil untuk sederhanakan jumlah partai) namun tidak diadopsi dalam UU Pemilu karena takut partainya tidak mendapatkan kursi. Menurut saya alasan itu kurang tepat karena di Indonesia tidak ada parpol mayoritas di DPR karena pemenang pemilu saja memperoleh suara tidak sampai 20 persen," katanya.
Baca juga: Anggota DPR: Belum ada keputusan terkait keserentakan pemilu
Rapat Harmonisasi RUU Pemilu tersebut dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya dan juga mengundang anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni, dan dosen FISIP Universitas Diponegoro Nur Hidayat Sardini.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2021