Ketua Tim Peneliti dari Health Collaborative Center (HCC), Dr. Ray W. Basrowi dalam media briefing secara daring, Rabu mengatakan, angka ini jauh meningkat sebelum pandemi COVID-19 yakni hanya sekitar 30-50 persen ibu atau termasuk kategori rendah dari seluruh dunia.
Baca juga: Ibu hamil dan menyusui tidak direkomendasikan vaksin COVID-19
Untuk sampai pada temuan, Ray dan tim peneliti antara lain Prof. Sudigdo Sastroasmoro, Dr. Levina Chandra dan Qisty melibatkan sekitar 379 ibu yang memiliki bayi di bawah usia 12 bulan untuk ikut serta dalam penelitian (dengan metode survei potong lintang melalui kuesioner daring) selama bulan Desember 2020 hingga pertengahan Januari 2021 atau masa PSBB berlangsung.
Para partisipan ini berusia 24-33 tahun, berasal dari 20 provinsi di Indonesia dengan mayoritas atau 60 persen berada di DKI Jakarta dan Jawa Barat, menempuh pendidikan sarjana sebanyak 73 persen. Sebanyak 7 persen dari mereka kehilangan pekerjaan dan 20 persennya masih harus bekerja penuh waktu selama pandemi.
Hasil penelitian menunjukkan, ASI eksklusif meningkat tajam selama pandemi yakni 89,4 persen. Artinya, 8-9 dari 10 ibu di Indonesia berhasil menyusui berhasil memberikan ASI eksklusif selama masa pandemi COVID-19.
"Dari aspek jumlah responden, penelitian ini bisa dikatakan representasi data dari refleks laktasi di Indonesia selama masa pandemi. Ibu-ibu menyusui di Indonesia, selama masa pandemi angka ASI eksklusifnya meningkat tajam. Di balik masa-masa sulit masa pandemi COVID-19 ada berita positif," tutur Ray.
Baca juga: Monomom X Nona Rara Batik rilis koleksi busana ramah menyusui
Analisis lebih rinci mengenai penelitian ini menunjukkan, angka pemberian ASI eksklusif pada ibu yang tetap bekerja dari kantor sebesar 82,9 persen melalui pompa ASI.
"Mereka tetap memompa dan berhasil memberikan ASI eksklusif," ujar Ray.
Angka pemberian ASI meningkat pada para ibu yang bekerja dari rumah yakni sebesar 97,8 persen. Faktor bekerja dari rumah selama masa pandemi menjadi penting dalam kesuksesan pemberian ASI eksklusif.
Salah satu ibu menyusui responden survei laktasi, Saskya Nabila Martin mengatakan, berada di rumah selama masa pandemi ternyata tak mengurangi produksi ASI-nya.
"Banyak di rumah, aku bukan ibu yang harus bekerja di kantor (berbisnis). Aku meeting di rumah. ASI aku berikan secara langsung (direct breastfeeding), aku pikir ASI akan berkurang, ternyata semakin direct bresfeeding semakin banyak ASI. Di usia anak 11 bulan masih alami ASI masih sangat banyak," kata dia.
"Aku merasa dengan work from home (WFH), sering di rumah, kasih ASI langsung, ASI makin banyak. WFH di awal challenging tapi setelah beradaptasi ASI semakin banyak," imbuh Saskya yang mengaku sudah terbiasa di rumah.
Penelitian juga menunjukkan, sebanyak 6 dari 10 ibu mengaku keberadaan susu formula tidak menjadi alasan berhenti menyusui selama masa pandemi dan 5 dari 10 ibu mengaku waktu kerja tidak fleksibel bukan halangan untuk tetap menyusui.
Kemudian, terkait konsultasi layanan kesehatan daring selama PBBB, sebanyak 70 persen ibu mengaku pernah memanfaatkannya. Sekitar 64 persen mengaku layanan kesehatan daring efektif.
Sebanyak 40 persen ibu pernah berkonsultasi dengan tenaga kesehatan menggunakan layanan WhatsApp.
Walau begitu, sebanyak 29 persen mengatakan terkendala jaringan dan khawatir dengan kerahasiaan data (16,4 persen).
Lebih lanjut, penelitian juga menunjukkan pada responden yang belum berhasil memberikan ASI secara eksklusif, 12 persen di antaranya karena faktor pekerjaan selama masa PSBB.
Faktor lainnya, tidak memadainya dukungan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan untuk konseling ibu menyusui (akibat kebijakan PSBB selama pandemi) (10 persen) dan kurangnya dukungan suami dan keluarga (7 persen).
Menyusui di masa pandemi
Ray mengatakan, tak ada bedanya menyusui di masa pandemi COVID-19 dengan sebelum pandemi. Ibu tetap harus memperhatikan aspek hygiene, termasuk alat pompa ASI (jika menggunakannya misalnya karena tidak bisa memberikan ASI langsung).
Kemudian, bagi ibu yang terkonfirmasi positif, sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tetap harus memberikan ASI untuk bayi mereka.
Hal senada juga menjadi anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yang memprioritaskan pemberian ASI tidak secara langsung melainkan memanfaatkan pompa ASI.
"WHO tegas menyatakan masa pandemi COVID-19, tidak ada alasan stop menyusui. IDAI juga sudah memberikan rekomendasi ASI tetap bisa dilanjutkan. IDAI bilang (memanfaatkan) pompa dulu (untuk menjaga jangan sampai droplet ibu sampai ke bayi," kata Ray.
Dia mengingatkan, ASI bukan media penularan COVID-19. Sekitar 20 penelitian di seluruh dunia menyatakan, tidak ada virus SARS-CoV-2 ditemukan dalam ASI.
Ibu menyusui yang positif COVID-19 juga tetap harus melakukan isolasi mandiri sesuai anjuran dokter (untuk gejala ringan dan sedang) dan memanfaatkan fasilitas kesehatan jika gejala yang dialami berat.
"Herbal medicine berkeliaran jangan sembarangan, tetap harus konsultasi ke dokter," kata Ray.
Meski selama pandemi memberi keleluasaan untuk memberikan ASI langsung kepada anak, sebaiknya menyusui tetap dilakukan dengan memperhatikan sejumlah protokol kesehatan dan mempertimbangkan aspek kebersihan.
Baca juga: Dukung ASI eksklusif, Vicky Shu kolaborasi dengan brand fesyen
Baca juga: AIMI layangkan surat permohonan agar Vanessa Angel bisa menyusui
Baca juga: Ibu positif COVID-19 bisa tetap menyusui secara aman
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021