Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti dalam risetnya menyatakan bahwa pemahaman masyarakat terhadap produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti rokok elektrik, masih relatif terbatas.....Faktanya, rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok. Ini menunjukkan keterbatasan pemahaman mengenai profil risiko HPTL,
"Masih banyak masyarakat Indonesia menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernapasan dan kecanduan. Faktanya, rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok. Ini menunjukkan keterbatasan pemahaman mengenai profil risiko HPTL,” kata Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Trubus menuturkan dalam riset bertajuk 'Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik" tersebut, sebanyak 73 persen responden Indonesia yakin bahwa bahaya merokok adalah karena nikotin.
"Namun, pada faktanya, proses pembakaran rokok dan TAR lah yang mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan kanker. Ini yang fakta sama persepsinya berbeda," ujar Trubus.
Baca juga: APTI: Tantangan sektor pertembakauan semakin berat
Dia menjelaskan risiko kesehatan yang ditimbulkan produk HPTL, seperti rokok elektrik, 90 persen lebih rendah dibandingkan rokok karena terdapat perbedaan pada proses penggunaannya karena produk ini tidak melalui proses pembakaran.
Dengan demikian, produk HPTL dapat menjadi opsi realistis untuk mengurangi risiko kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun, 47 persen responden Indonesia masih menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernafasan.
Menurut Trubus, edukasi dan promosi mengenai HPTL sebagai produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko perlu ditingkatkan.
Baca juga: Kemenkeu tetapkan catridge rokok elektrik sebagai barang kena cukai
Trubus juga menilai bahwa regulasi khusus juga diperlukan. Regulasi tersebut dibutuhkan lantaran produk HPTL ilegal yang beredar saat ini cukup tinggi.
"Kemarin ada produk ilegal ke Batam dan jumlahnya sampai berton-ton. Dan 90 persen responden setuju HPTL harus diregulasi secara khusus dan disediakan bagi perokok. Seperti Inggris yang sudah ada regulasinya," kata Trubus.
Baca juga: PKJS UI dukung larangan penggunaan bansos untuk beli rokok
Hal senada juga diungkapkan Kepala Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Aneka Ragam Kewirausahaan, Kementerian Perdagangan, Amirudin Sagala. Berdasarkan riset Kementerian Perdagangan, pengguna HPTL, khususnya rokok elektrik, saat ini sudah mencapai 2,2 juta. Jumlah outlet penjual mencapai 5 ribu.
Menurut Amirudin, jumlah pengguna HPTL di Indonesia itu sudah cukup besar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan barang beredar yang lebih ketat menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) atas produk-produk tersebut.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021