Guncangan gempa yang dahsyat itu membuat bangunan gedung pemerintah roboh, tempat tinggal warga rusak berat, sedang dan ringan.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menyatakan 91 korban meninggal dunia, 320 luka sangat berat yang saat ini dirawat di sejumlah rumah sakit, 426 luka berat, 240 luka sedang dan 2.703 luka ringan.
Kondisi itu tentu berdampak langsung pada psikologi masyarakat, terutama menambah rasa trauma yang kemudian berujung pada depresi pada warga penyintas di lokasi pengungsian.
Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Alam Provinsi Sulawesi Barat melaporkan sebanyak 89.624 warga Kabupaten Mamuju dan Majene masih mengungsi akibat gempa pada 15 Januari 2021 itu.
“Pengungsi di Kabupaten Mamuju sebanyak 60.505 orang dan Kabupaten Majene sebanyak 29.119 orang,” kata Juru bicara Satgas M Natsir.
Para pengungsi itu tersebar di 249 titik pengungsian dengan rincian Kabupaten Mamuju, pengungsian di atas 100 orang sebanyak 105 titik dan di bawah 100 orang sebanyak 124 titik. Selanjutnya di Kabupaten Majene dengan pengungsian di atas 100 orang sebanyak 20 titik.
Di Kabupaten Mamuju, para pengungsi tersebar di Kecamatan Mamuju, Simboro, Tapalang, Tapalang Barat, Kaluku, Papalang dan Balakkang. Sementara di Kabupaten Majene, para pengungsi tersebar di Kecamatan Malunda dan Ulumanda.
Baca juga: Dinkes Sulbar kecewa banyak pengungsi tolak rapid tes COVID-19
Bertahan di pengungsian
Salah seorang warga di pengungsian stadion Manakarra, Lena mengatakan dirinya tetap bertahan di pengungsian, karena takut masih ada gempa susulan. Dia mengungkapkan kondisi rumahnya yang rusak, sangat rawan untuk ditinggali kembali.
Lena berharap agar pemerintah memperhatikan kondisi mereka di pengungsian, yang mulai terserang penyakit.
Anak-anak mulai deman kalau malam hari. Dia berharap ada perhatian pemerintah.
Syukur yang juga penyintas gempa Mamuju mengaku belum berani kembali dan berlama-lama di rumahnya.
Hingga hari keenam setelah gempa, dia belum berani berlama-lama di dalam rumah. Setiap berada di dalam rumah, ada perasaan takut dan was-was akan terjadinya gempa lagi.
Banyak warga masih bertahan di depan rumahnya, tidak mengungsi jauh dari kawasan perumahan tempatnya tinggal.
Sempat berfikir untuk meninggalkan Kota Mamuju setelah ada informasi bahwa akan terjadi gempa susulan dengan kekuatan yang lebih besar, bahkan akan diikuti tsunami.
Mereka sempat panik, apalagi para ibu-ibu dan anak-anak. Setelah dipertimbangkan, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap bertahan di daerahnya.
Bukan hanya orang tua yang mengalami traumatik gempa berkekuatan 6,2 magnitudo itu, anak-anak juga mengalami trauma.
Bahkan, anak Syukur setiap mendengar suara yang keras langsung histeris dan menjerit ketakutan.
Penyebabnya, pada malam kejadian itu, suasananya sangat mencekam. Saat terjadi gempa, gemuruh tembok yang patah ditambah suara keras benda-benda yang jatuh membuat anak-anak sangat ketakutan. Itulah yang selalu membayangi setiap berada di dalam rumah.
Sampai saat ini, anaknya mengalami demam, apalagi saat mendengar suara yang keras, demamnya langsung naik. "Insya Allah, jika kondisi sudah benar-benar aman, saya akan membawa keluarga refreshing untuk menghilangkan traumatik akibat gempa ini," tutur Syukur.
Baca juga: 89.624 warga Mamuju dan Majene masih mengungsi
Tanggap darurat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan status penanganan bencana gempa bumi dengan magnitudo 6,2 di Sulawesi Barat sebagai tanggap darurat.
Dari sekian banyak yang mengungsi, di dalamnya termasuk kelompok rentan anak-anak yang juga sebagai penyintas gempa.
Diakui oleh pemerintah bahwa anak menjadi satu komponen yang paling terdampak dalam situasi darurat bencana, termasuk gempa bumi.
Berbeda dengan orang dewasa yang telah memiliki kemapanan berfikir dan jiwa yang kuat, anak masih sangat rentan untuk mengalami trauma yang mendalam.
Karena itu, meski berbeda dengan orang dewasa, anak penyintas gempa di lokasi pengungsian maupun tidak di lokasi pengungsian berhak mendapatkan perhatian serius, terutama memulihkan psikologinya sebagai bentuk upaya menjamin tumbuh kembangnya.
Untuk itu perlu dukungan psikososial dan trauma healing.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (KPPPA) melibatkan jejaring untuk memberikan dukungan psikososial kepada anak-anak penyintas gempa di Sulawesi Barat (Sulbar) untuk menghilangkan trauma anak.
Asisten Deputi Perlindungan Anak Dalam Kondisi Khusus, KPPPA, Elvi Hendrani mengatakan dalam pemberian dukungan psikososial ini KPPPA melibatkan jejaring yang punya kegiatan dukungan psikososial, seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
KPPPA juga melibatkan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Provinsi Sulbar, TNI-AL, Relawan Karampuang.
Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.19/2019 bahwa KPPPA mengkoordinasikan tentang perlindungan anak di kondisi khusus.
Baca juga: BNPB akan tambah tenda darurat untuk isolasi pasien COVID-19 di Sulbar
Aktivitas menyenangkan
Dengan dasar itu, KPPPA harus mengkoordinasikan dan melakukan pemantauan serta memastikan bahwa semua hak anak dalam situasi khusus seperti darurat gempa harus terpenuhi dan anak terlindungi
Kegiatan dukungan psikososial itu dimulai Selasa (19/1), di Kabupaten Mamuju, yang berlangsung di Stadion Manakarra Mamuju.
Namun, kegiatan dukungan psikososial yang dilakukan oleh relawan sudah dimulai sejak setelah gempa, di posko masing-masing. Sementara yang dilaksanakan di tenda ramah anak dan perempuan baru dimulai Selasa (19/1) itu.
Ratusan anak penyintas gempa yang mengungsi di Stadion Manakarra Mamuju menjadi peserta kegiatan dukungan psikososial.
Selain dukungan sosial, Kementerian PPPA juga membangun posko dan tenda ramah perempuan dan anak di daerah terdampak gempa di Kabupaten Mamuju.
Satu tenda ramah perempuan dan anak (TRPA) dibangun KPPPA di Stadion Manakarra dan dua posko ramah perempuan dan anak di Jalan Pongtiku, Jalan Husni Thamrin, Mamuju.
Keberadaan TRPA dan posko ramah perempuan dan anak, kata Elvi sangat penting, karena hal itu untuk mendorong bahwa penanggulangan pascabencana dalam situasi tanggap darurat dilakukan berbasis responsif gender.
Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) turut berperan dalam memulihkan psikologi anak penyintas gempa Mamuju dengan memberikan hiburan kepada anak-anak untuk mengembalikan keceriaannya melalui program dukungan psikososial atau Psychosocial Support Program (PSP).
Sekretaris Jenderal PMI Pusat Sudirman Said mengatakan personel PMI yang dimobilisasi tidak hanya menyalurkan bantuan, membantu evakuasi, dan memberikan pelayanan kesehatan, tetapi juga banyak program lainnya, seperti PSP yang diberikan kepada para penyintas, khususnya anak-anak, untuk mengurangi trauma.
Relawan PMI gabungan yang berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulbar itu mengajak anak-anak yang menjadi pengungsi dan tinggal di tenda darurat di halaman Kantor Bupati Mamuju di Kelurahan Karema, Kecamatan Mamuju, untuk melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan.
Caranya, mengajak anak-anak itu bernyanyi, bermain, dan memberikan hadiah, diharapkan bisa mengurangi trauma mereka setelah ikut merasakan dan menjadi saksi gempa yang meluluhlantakkan rumahnya dan bangunan lainnya.
Anak-anak yang tinggal di pengungsian tentunya akan mudah merasa jenuh karena aktivitas terbatas, serta harus bergabung dengan orang lain yang kemungkinan belum dikenal sehingga mereka kesulitan beradaptasi.
Dengan kondisi yang demikian, dikhawatirkan mereka rawan terserang penyakit dan bisa saja mengalami trauma berkepanjangan.
Oleh karena itu, pelayanan dukungan psikososial ini harus terus diberikan kepada anak-anak di lokasi pengungsian agar pengemban masa depan bangsa itu tetap ceria meraih cita-citanya.*
Baca juga: Sulbar prioritaskan tes cepat antigen bagi pengungsi bergejala klinis
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021