• Beranda
  • Berita
  • Mendongkrak pendapatan petani Kulon Progo dengan tiga komoditas unggul

Mendongkrak pendapatan petani Kulon Progo dengan tiga komoditas unggul

25 Januari 2021 11:23 WIB
Mendongkrak pendapatan petani Kulon Progo dengan tiga komoditas unggul
Bupati Kulon Progo Sutedjo bersama Forkompimda melakukan panen raya padi. Kulon Progo setiap tahun mengalami surplus beras rata-rata 40.000 ton beras pertahun. (Foto ANTARA/Sutarmi)

Tiga komoditas unggulan tersebut melahirkan petani-petani milenial di Kulon Progo dengan pendapatan tinggi, sehingga pekerjaan sebagai petani tidak lagi dipandang sebelah mata. Selain itu, pada masa pandemi, sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaa

Pada masa pandemi COVID-19 sekarang, salah satu yang menjadi andalan bagi pertumbuhan ekonomi ke arah positif adalah sektor pertanian. Karena itu, perlu ada upaya peningkatan nilai tambah produk pertanian sehingga pendapatan petani dapat meningkat signifikan.

Tiga komoditas unggulan di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki nilai ekonomi tinggi. Tiga komoditas tersebut yakni cabai, bawang merah, dan beras organik. Harga bawang merah di tingkat petani sangat tinggi. Dengan luas panen bawang merah mencapai 1.000 meter persegi, harganya berkisar Rp40 juta sampai Rp50 juta dengan modal usaha Rp14 juta, Padahal titik impas biaya produksi (BEP) sebesar Rp14 ribu per kilogram, sehingga komoditas tersebut memberikan keuntungan besar bagi petani di Kulon Progo.

Komoditas cabai merah di lahan utama di pesisir selatan juga sangat menguntungkan. BEP produksi cabai sekitar Rp10 ribu per kilogram. Pada Desember hingga saat ini, harga cabai bertahan di atas Rp40 ribu per kilogram, sehingga keuntungan petani sangat tinggi di atas 400 persen. Dalam satu tahun 2020, luas panen cabai ada 2.078 hektare yang tersebar di 12 kecamatan, dengan sentra di Kecamatan Panjatan 873 hektare, Galur 397 hektare, Wates 420 hektare, dan Temon seluas 194 hektare.

Selanjutnya, beras organik Jatisarono Organik Sehat Sejahtera (JOSS) seluas 23 hektare di Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan. Harga beras biasa di tingkat pedagang berkisar Rp9 ribu per kilogram, sedangkan beras organik sebesar Rp15 ribu per kilogram, sehingga keuntungan petani di atas 160 persen.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kulon Progo Aris Nugraha mengatakan nilai tukar petani Kulon Progo di masa pandemi ini meningkat signifikan karena nilai tambah yang diperoleh petani juga meningkat. Artinya untuk mendongkrak nilai tukar petani, perlu ada upaya serius dalam meningkatkan nilai tambah bagi petani.

Tiga komoditas unggulan tersebut melahirkan petani-petani milenial di Kulon Progo dengan pendapatan tinggi, sehingga pekerjaan sebagai petani tidak lagi dipandang sebelah mata. Selain itu, pada masa pandemi, sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan yang terbuka lebar untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Pada masa pandemi COVID-19 ini, banyak pekerja di pabrik mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), kemudian balik ke kampung halaman. Salah satu lapangan pekerjaan yang terbuka lebar adalah bertani. Di keluarga, mereka memiliki lahan pertanian, sehingga bisa menjadi mata pencaharian, artinya sektor pertanian dapat menyediakan kebutuhan pangan dan menyerap tenaga kerja.

Baca juga: BPS: Nilai Tukar Petani Desember 2020 naik 0,37 persen

Selama pandemi, kebutuhan pangan masyarakat stabil. Kondisi tersebut menjadi peluang untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani Kulon Progo, kata Aris Nugraha.

Pertama dari kebutuhan pokok sisi pangan adalah beras. Di Kulon Progo setiap tahun terdapat surplus beras rata-rata 30.000 ton - 45.000 ton beras. Kondisi ini membuat Kulon Progo menjadi swasemba pangan, karena hampir sepanjang tahun di Kabupaten Kulon Progo selalu ada panen baik pada lahan-lahan yang beririgasi teknis maupun pada lahan-lahan yang beririgasi kecil/desa.

Angka sementara produksi padi di Kabupaten Kulon Progo pada 2020 sebesar 126.003 ton dengan luas panen 19.038 hektare dan produktivitas 66,18 kuintal per hektare gabah kering panen.

Dengan surplus beras ini, Kulon Progo mampu membantu ketersediaan pangan di tingkat DIY dan nasional. Pada masa pandemi COVID-19 ini, Pemkab Kulon Progo melakukan langkah strategis, yakni menyediakan beras berkualitas baik mengarah ke premium dan organik.

Dalam rangka mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta pemenuhan pangan yang aman, di Kabupaten Kulon Progo telah dikembangkan pertanian organik yaitu sistem budi daya pertanian yang berorientasi pada pemanfaatan bahan-bahan alami lokal tanpa menggunakan bahan kimia sintesis.

Rintisan pertanian organik ini dilaksanakan di Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan, dan tiga kelompok tani sudah mendapatkan sertifikasi organik dari Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) LeSOS, Mojokerto, Jawa Timur, seluas 23 hektare dan Sertifikat Produk Dalam Negeri (PD) dari OKKPD-DIY. Ketiga kelompok tani tersebut yaitu Kelompok Tani Tegal Mulyo, Kelompok Tani Sri Jati dan Kelompok Tanu Jatingarang Lor. Pada musim ini kelompok tani tersebut siap menyalurkan beras organik ke konsumen dengan merek dagang Jatisarono Organik Sehat Sejahtera (JOSS).

Kedua, dari sisi olahan, Dinas Pertanian dan Pangan melakukan pendampingan kepada kelompok wanita tani, dan gabungan kelompok tani berupaya produk dari petani tidak dijual dalam bentuk segar, tapi dalam bentuk olahan. Contohnya hasil pertanian empon-empon yang dikemas menjadi biofarmaka. Selama pandemi ini, produk tersebut justru berkembang pesat dan harganya bagus.

Hal itu mendorong petani mengolah produk-produk pertanian menjadi produk olahan dengan pendampingan Dinas Pertanian dan Pangan Kulon Progo.

Ketiga, produk olahan sayuran dan hortikultura. Dinas Pertanian dan Pangan mengembangkan beberapa komoditas sayuran, sampai pengolahan hasil. Contoh, cabai. Meski Kulon Progo selalu surplus dan harganya selalu bagus tetap diarahkan kepada pengolahan hasil. Ada beberapa KWT yang mengolah cabai menjadi abon cabai, saos cabai. Usaha ini sudah berkembang dengan baik, dan pendampingan dari dinas terus ditingkatkan.

Baca juga: Masalah klasik kian menjerat petani saat pandemi COVID-19

Selanjutnya, bawang merah. Di Kulon Progo, tepatnya di Bulak Sriyangan sebagai sentra bawang merah dengan kualitas bagus. Pada masa pandemi COVID-19 2020, keuntungan yang didapat petani luar biasa. Tanaman bawang merah di lahan seluas 1.000 meter persegi ditawar Rp40 juta hingga Rp50 juta. Petani mendapat keuntungan bersih Rp25 juta dan biaya produksi Rp14 juta.

Namun pihaknya tidak berhenti pada produksi bawang merah langsung dijual, ada KWT di Srikayangan yang mengolah bawang merah menjadi produk kemasan Superbram dengan berbagai cita rasa. Ada juga sambal bawang, sehingga meningkatkan nilai tambah, sehingga pendapatan petani di Kulon Progo pada masa pandemi ini sangat tinggi, karena nilai tambah petani juga meningkat.
Bupati Kulon Progo Sutedjo dan Ketua DPRD Kulon Progo Akhid Nuryati bersama Forkompimda melakukan panen raya bawang merah di Bulak Srikayangan. Wilayah tersebut merupakan sentra bawang merah di DIY. (Foto ANTARA/Sutarmi)
Brambang Goreng “Superbram” Srikayangan

Sebagai sentra bawang merah, di Desa Srikayangan, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, tak semua petani hanya menjual bawang mentah. Di sana, ada kelompok wanita tani yang mengolah bawang merah mentah menjadi olahan Bawang Goreng Superbram. Inovasi ini untuk meningkatkan nilai tambah dan nilai tukar petani.

Ketua Kelompok Wanita Tani Putri Manunggal Dwi Nurani mengungkapkan sejak dahulu di Desa Srikayangan, sejumlah wanita mengolah bawang merah menjadi bawang goreng secara pribadi. Pada 2018, mereka memutuskan untuk membuat kelompok yang berfokus mengolah bawang goreng bernama KWT Putri Manunggal.

Baca juga: Presiden Jokowi minta para CEO rancang kolaborasi dengan petani

Hal ini dilakukan sebagai siasat menghadapi harga bawang merah yang anjlok pascapanen.Terobosan ini juga untuk meningkatkan nilai jual bawang merah.

Pelaku usaha yang dipelopori KWT, di bidang makanan olahan dituntut untuk bisa berkreasi dan berinovasi untuk menangkap peluang yang ada, sehingga produknya tetap laku dan mampu bersaing di pasaran. Seperti yang dilakukan oleh KWT Putri Manunggal yang mampu berkreasi dan berinovasi membuat olahan bawang merah menjadi lebih menarik, lebih enak, lebih praktis, dan lebih tahan lama. Menggunakan bawang merah khas Srikayangan, Sentolo, KWT Putri Manunggal memproduksi Bawang Goreng “Superbram”.

Produk ini diolah dari bawang merah varietas lokal Srikayangan tanpa bahan pengawet dan penyedap, tanpa bahan pangan tambahan (100 persen bawang merah). Produk Bawang Goreng “Superbram” tersedia tiga varian rasa, yaitu original, crispy (pakai tepung beras), dan pedas (tepung beras dan cabai bubuk). Kemasan yang disediakan plastik pack 65 gram dengan harga Rp15 ribu, plastik pack 135 gram dengan harga Rp25 ribu, dan kemasan dengan toples kecil 80 gram dengan harga Rp20 ribu.
KWT Melati Desa Glagah, Kecamatan Temon, mengolah abon cabai untuk mensiasati harga cabai anjlok saat panen raya. (Foto ANTARA/Sutarmi)
Mendongkrak nilai jual cabai

Harga cabai sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Sepanjang pesisir selatan Kulon Progo, penjualan cabai dilakukan secara lelang melalui pasar lelang. Pada saat harga cabai sangat rendah, petani lebih memilih tidak merawat tanaman cabai, kalau pun ada dijual murah. Kondisi seperti ini yang menginspirasi Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati yang berada di Kretek, Desa Glagah, Kecamatan Temon, memproduksi abon cabai.

Pada awal pandemi 2020, harga cabai di tingkat petani hanya berkisar Rp3.500 hingga Rp5 ribu per kilogram, padahal biaya produksi berkisar Rp10 ribu per kilogram. petani perempuan yang tergabung dalam KWT Melati yang diketuai Titin Kusnawati melakukan inovasi dalam hal pengolahan cabai dan tidak hanya terpaku pada penjualan cabai segar.

KWT Melati merupakan pioneer pengolahan cabai di Kulon Progo. Hasil olahan cabai yang ada sudah mampu terjual di berbagai Tomira di Kulon Progo dan beberapa pusat penjualan oleh-oleh dan beberapa reseller  di Yogyakarta.

Sebelum terjadi COVID-19, per hari bisa memproduksi abon cabai sampai 25 kilogram kering. Saat kondisi COVID-19 dan tingginya harga cabai di tingkat petani, produksi hanya  5 kilogram dalam seminggu.

Penurunan produksi tersebut salah satunya disebabkan  oleh berhentinya penyaluran bubuk cabai ke sejumlah rumah makan yang tutup saat pandemi. Selain itu, juga kesulitan mengandalkan pemasaran melalui toko oleh-oleh, karena selama pandemi toko oleh-oleh sepi pengunjung bahkan terpaksa tutup. Meski begitu, KWT Melati optimistis bisa tetap bertahan dengan mengangkat produk olahan cabai basah yaitu berbagai sambal seperti sambal petai dan terasi. Mereka juga berupaya menggenjot pemasaran melalui media sosial supaya menjangkau pasar di seluruh Indonesia.

Inovasi abon cabai ini bisa meningkatkan pendapatan ibu-ibu rumah tangga, KWT Melati. Usaha itu berawal dari bimbingan teknologi (bimtek) yang dilakukan oleh Distanpangan bersama Bank Indonesia yang berhasil menciptakan inovasi Abon Cabe “Nyoss” dengan berbagai varian rasa teri, terasi, original, dan olahan sambal segar.

 

Pewarta: Sutarmi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021